Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2025

Pemain Pemula Sudah Dilirik: Rukun Tani Siap Masuk Rantai Bisnis Tembakau Nasional

Gambar
Pemain Pemula Sudah Dilirik: Rukun Tani Siap Masuk Rantai Bisnis Tembakau Nasional Oleh : Sutoyo _______________ Bruno, Senin 28 Juli 2025__ KT Rukun Tani, desa Gowong, Kecamatan Bruno, Purworejo, mencatat momen penting dalam perjalanan barunya sebagai petani tembakau. Pada hari Minggu, 27 Juli 2025, kelompok ini mendapat kunjungan kehormatan dari Mulyono , Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Kabupaten Purworejo, dan Suratman , Owner Pabrik Rokok Jowo, produsen rokok lokal yang mulai dikenal di kalangan penikmat tembakau nusantara. Kunjungan ini bukanlah pertemuan biasa. Ini adalah tindak lanjut dari rapat koordinasi yang sebelumnya difasilitasi oleh Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi Jawa Tengah bersama Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Purworejo. Sebagai petani tembakau pemula, langkah ini menjadi angin segar sekaligus tantangan bagi Rukun Tani untuk naik kelas dan terlibat dalam kemitraan yang lebih serius dengan dunia industri. Mimpi Lama yang Mulai...

Siapa yang Punya Kebenaran? Ketika Algoritma Menggantikan Akal Sehat

Gambar
  Siapa yang Punya Kebenaran? Ketika Algoritma Menggantikan Akal Sehat Oleh : Sutoyo ___________________ Tulisan Maichel Firmansyah seorang Alumnus Universitas Negeri Padang Departemen Sosiologi yang bertajuk "Era Taklid Digital: Otoritas Kebenaran Semu" yang selengkapnya dapat dilihat di https://news.detik.com/kolom/d-8029333/era-taklid-digital-otoritas-kebenaran-semu cukup menarik untuk diulas kembali. Sepakat dengan Maichel Firmansyah bahwa diera digital ini kebenaran sering kali tidak lagi ditentukan oleh argumen yang kuat atau fakta yang valid, melainkan oleh siapa yang paling viral, siapa yang paling sering muncul di layar gawai kita. Ketika algoritma media sosial menjadi penentu apa yang layak kita lihat, pertanyaan kritis pun muncul: siapa sebenarnya yang punya otoritas atas kebenaran? Fenomena ini lantas diangkat oleh Maichel Firmansyah sebagai "taklid digital",  yaitu kecenderungan menerima informasi tanpa berpikir panjang hanya karena informasi tersebut ...

SALAM: Sekolah yang Menanam Kedaulatan, Tapi Malah Mau Dijadikan Wisata

Gambar
                                                                        Foto Mojok.co SALAM: Sekolah yang Menanam Kedaulatan, Tapi Malah Mau Dijadikan Wisata Oleh: Abuwaras Salah Paham Terhadap Pendidikan Alternatif Sekolah SALAM (Sanggar Anak Alam) di Bantul, Yogyakarta, telah menjadi perbincangan publik. Bukan karena prestasi olimpiade atau ranking nasional, melainkan karena cara belajarnya yang "tak biasa". Bagaimana tidak ? Anak-anak menanam padi, beternak kambing, membuat film dokumenter, dan berdiskusi di bawah pohon. Tak ada seragam, tak ada ujian nasional, dan tentu saja, tak ada raport angka. Anehnya, keberanian SALAM untuk keluar dari pakem pendidikan nasional malah membuat sekolah ini sering disalahpahami: bukan sebagai pusat inovasi, tapi justru sebagai "tempat wisata edukasi." Fenomena ini me...

PGRI Galak, PERHIPTANI Mlempem: Kenapa Penyuluh Tidak Sekuat Guru?

Gambar
Foto Detik.com P GRI Galak, PERHIPTANI Mlempem: Kenapa Penyuluh Tidak Sekuat Guru? Oleh : Anggota Perhiptani hari-hari jelang  purna bhakti __________________ Ketika guru merasa diperlakukan tidak adil maka spontan PGRI langsung bergerak. Aksi demonstrasi, konferensi pers, bahkan tekanan ke DPR dan Presiden pun dilakukan. Alhasil, tunjangan profesi, sertifikasi, hingga formasi PPPK besar-besaran berhasil diperjuangkan. Sebaliknya penyuluh pertanian yang tak kalah strategis dalam menjaga urat nadi pangan bangsa, hanya bisa bersuara lirih. Entahlah apa yang ada dibenak para pengurus kenapa PERHIPTANI seperti tak ada nyali untuk tampil menggigit, lebih sering terjebak dalam seminar dan audiensi, bukan aksi nyata. Militansi Guru: Dari Ruang Kelas ke Jalanan PGRI sudah lama paham bahwa keadilan tidak pernah datang sendiri, harus diperjuangkan . Mereka sadar bahwa perjuangan kolektif itu bukan sekadar menyuarakan tuntutan, tetapi juga menekan kekuasaan agar mendengar. Aksi guru di...

Luas Tambah Tanam (LTT): Solusi Cepat atau Jerat Jangka Panjang?

Gambar
Luas Tambah Tanam (LTT): Solusi Cepat atau Jerat Jangka Panjang? Oleh: Sutoyo | storylabsutoyo@gmail.com Prolog : LTT dan Ambisi Swasembada Pangan Sejak awal 2020-an, istilah Luas Tambah Tanam (LTT) menjadi jargon utama Kementerian Pertanian dalam upaya untuk menggenjot produksi pangan nasional. Ditengah ancaman krisis pangan global dan perubahan iklim LTT disebut-sebut sebagai kunci menuju swasembada dan ketahanan pangan. Tanpa membuka lahan baru kita bisa panen lebih banyak—begitu semangatnya. Namun dibalik semangat swasembada itu muncul pertanyaan mendasar: Apakah LTT adalah solusi cerdas atau justru jebakan yang mengulang kesalahan Revolusi Hijau Orde Baru? Sekilas Tentang LTT: Tanam Lebih Banyak, Panen Lebih Cepat LTT adalah upaya peningkatan luas tanam secara nasional utamanya melalui: Penanaman lebih dari 1–2 kali setahun (intensifikasi waktu) Pemanfaatan lahan-lahan tadah hujan, rawa, atau sawah yang selama ini ditelantarkan Penggunaan bantuan pompanisasi, alat...

Keresahan yang Mencair di Aula B dan C: Petani Tembakau Akhirnya Bisa Tersenyum

Gambar
Keresahan yang Mencair di Aula B dan C: Petani Tembakau Akhirnya Bisa Tersenyum Para peserta rapat koordinasi di Aula B dan C DKPP Purworejo, 23 Juli 2025. Suasana penuh semangat dan kelegaan setelah dialog terbuka antara petani, pemerintah, asosiasi, pelaku usaha, dan wakil rakyat. ____________________ Purworejo Rabu, 23 Juli 2025 – Aula B dan C Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Purworejo menjadi saksi mencairnya keresahan para petani tembakau. Rapat koordinasi bertajuk “Antisipasi Penurunan Serapan Tembakau dan Penerapan Pembudidayaan Tembakau yang Baik 2025” ini mempertemukan empat Kelompok Tani dari Bagelen dan Bruno dengan berbagai pihak strategis—mulai dari asosiasi tembakau, pelaku industri, pemerintah daerah, hingga wakil rakyat dari Provinsi Jawa Tengah. Pada awalnya suasana diliputi oleh rasa kecemasan. Isu yang beredar luas bahwa PT. Gudang Garam tidak akan menyerap tembakau tahun ini memunculkan kekhawatiran bahwa harga tembakau akan anjlok. Tentu saja hal in...

Swasembada Bukan Sekadar Statistik: Saatnya Pangan Kembali ke Tangan Rakyat

  Swasembada Bukan Sekadar Statistik: Saatnya Pangan Kembali ke Tangan Rakyat Oleh: Abuwaras _________________ Sebuah laporan riset yang dimuat oleh CNBC Indonesia (22 Juli 2025) dengan tajuk “Ranking Swasembada Pangan Dunia: Posisi RI Mengejutkan!” mengulas temuan jurnal ilmiah Nature Food yang menyoroti ketimpangan antara produksi pangan nasional dan kebutuhan konsumsi ideal berbasis diet sehat dan berkelanjutan. Indonesia disebut mampu swasembada diempat dari tujuh kategori pangan—setara dengan Thailand dan Myanmar. Sekilas ini terdengar menggembirakan. Tetapi benarkah capaian ini pantas dirayakan? Ataukah hanya ilusi dari segi angka? Panggung Statistik: Sebuah Ilusi Kemajuan? Dalam laporan tersebut Indonesia disebut swasembada buah (108%), kacang-kacangan (187%), biji-bijian berpati (172%), dan ikan (166%). Namun, saat kita telusuri lebih mendalam, terdapat catatan yang serius: Sayuran hanya 41% dari kebutuhan nasional, Produk susu malah  nol persen (0%). ...

Aglomerasi Pertanian: Ketika Peta Komoditas Bertemu dengan Peta Kearifan

Gambar
                                                                               Ilustrasi Aglomerasi Pertanian: Ketika Peta Komoditas Bertemu dengan Peta Kearifan Oleh: Sutoyo Blog StoryLab Sutoyo | 2025 “Aglomerasi”  barangkali terdengar seperti istilah yang lebih cocok digunakan untuk dunia industri, startup, atau kota metropolitan. Tetapi siapa yang menyangka bahwa konsep ini kini sebenarnya sudah  masuk kedalam sektor pertanian. Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan (BP Taskin) bahkan telah membagi wilayah-wilayah di Jawa Barat dan Jawa Tengah berdasarkan sektor unggulan dalam skema aglomerasi sektoral . ( Indramayu, Jawa Barat, Senin (21/7/2025). ANTARA/Fathnur Rohman). Indramayu, Cirebon, dan Brebes difokuskan ke sektor pangan, Kuningan ke energi baru terbarukan, dan K...

KOKAM Jadi Petani, Lalu JATAM Ngapain?

Gambar
Foto : MUHAMMADIYAH.OR.ID, SLEMAN KOKAM Jadi Petani, Lalu JATAM Ngapain? Refleksi Kritis atas Sinergi Muhammadiyah dan Polri dalam Program Ketahanan Pangan Oleh : Sutoyo ____________________ Apel Akbar Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah (KOKAM) yang digelar di Stadion Tridadi, Sleman (Ahad, 20 Juli 2025) menjadi sorotan nasional. Selain dihadiri tokoh-tokoh penting seperti Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Menteri PMK Muhadjir Effendy, dan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, acara ini menjadi panggung pernyataan tekad KOKAM mendukung program ketahanan pangan nasional. Dalam sambutannya, Kapolri mengapresiasi militansi KOKAM dan menyatakan bahwa Polri menggandeng KOKAM sebagai mitra strategis dalam program penanaman 1 juta hektar jagung. Sebagai langkah konkret, turut diteken nota kesepahaman (MoU) antara Polri dan PP Muhammadiyah untuk penanaman jagung di atas lahan seluas 10.000 hektar. Sumber: muhammadiyah.or.id – “KOKAM dan Polri Sinergi Wujudkan Keta...

Apresiasi Tinggi untuk POPT: Melepas Predator di Ladang Tembakau Watuduwur

Gambar
Apresiasi Tinggi untuk POPT: Melepas Predator di Ladang Tembakau Watuduwur Oleh : Sutoyo ______________ Watuduwur, Bruno, Senin 21 Juli 2025__ . Ditengah tantangan pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) yang semakin kompleks, langkah sederhana namun visioner dilakukan oleh petugas Pengendali OPT (POPT) Sugiyo dan Agal di Watuduwur, Kecamatan Bruno. Mereka melepas predator alami ke lahan petani tembakau sebagai bagian dari strategi pengendalian hayati. Bukan sekadar kegiatan seremonial, tindakan ini adalah bentuk apresiasi terhadap pendekatan ekologi—dimana petani dan alam semestinya bukan saling melawan, melainkan saling berdampingan. Selama ini gerakan pengendalian OPT cenderung bersifat kuratif , yakni dilakukan setelah populasi hama mencapai ambang pengendalian atau setelah terjadi kerusakan ekonomi. Padahal, pendekatan preventif jauh lebih efektif dan berkelanjutan. Salah satunya adalah dengan mengoptimalkan peran musuh alami atau predator. Melepas predator seperti menya...

Kita bisa kenyang dari pangan impor

“Kedaulatan Pangan: Saatnya Pangan Tak Hanya Cukup, Tapi Juga Berdaulat” Oleh: Abuwaras Ditengah gegap gempita swasembada dan kecemasan krisis pangan global, kita sering terjebak pada satu pertanyaan besar: apakah cukup sekadar kenyang ? Atau seharusnya kita bertanya: siapa yang mengendalikan pangan kita? Disinilah konsep kedaulatan pangan menjadi penting. Ia bukan sekadar soal “pangan tersedia”, tapi siapa yang menentukan cara kita menanam, makan, dan mengatur sistem pangan itu sendiri . 🍚 Dari Ketahanan Menuju Kedaulatan Selama ini kita terlalu lama berkutat pada istilah “ ketahanan pangan ”. Konsep ini fokus pada ketersediaan dan keterjangkauan , tapi tidak peduli apakah itu dari beras lokal atau dari gandum impor yang menumpuk di pelabuhan. Asal tersedia, semua dianggap aman. Sementara itu, petani kecil tetap terpinggirkan , pangan lokal terlupakan, dan tanah kita terus-menerus dijejali pupuk kimia serta benih paten. Kedaulatan pangan datang menawarkan arah baru. Bukan ha...

Ketahanan, Kemandirian, atau Kedaulatan? Saatnya Kita Tidak Salah Kaprah Lagi Soal Pangan

Ketahanan, Kemandirian, atau Kedaulatan? Saatnya Kita Tidak Salah Kaprah Lagi Soal Pangan Oleh : Abuwaras ____________________ Ditengah gencarnya isu krisis pangan global kita sering disuguhi dengan narasi dari pemerintah soal keberhasilan menjaga ketahanan pangan . Mediapun turut menyorot soal stok beras yang aman, pangan yang tersedia, dan harga yang relatif stabil. Tapi pertanyaannya: benarkah kita sudah aman? Ataukah4 justru terlena dalam ilusi kenyang yang semu? Salah satu akar masalahnya terletak pada kerancuan istilah . Banyak pihak — termasuk pengambil kebijakan — masih mencampuradukkan istilah ketahanan pangan , kemandirian pangan , dan kedaulatan pangan . Padahal, secara filosofi, arah kebijakan, dan dampaknya di lapangan, ketiganya berbeda jauh. Ketahanan Pangan: Pangan Ada, Tapi Bisa Saja Petani Tak Berdaya Menurut FAO ( Food and Agriculture Organization ) , food security adalah kondisi di mana semua orang, setiap saat, memiliki akses fisik dan ekonomi terhadap makanan...

Penyuluh PPPK: Sudah Jadi Anggota, Tapi Masih Jadi Tamu?"

Gambar
"Penyuluh PPPK: Sudah Jadi Anggota, Tapi Masih Jadi Tamu?" Oleh: Seorang Warga Biasa Perhiptani ____________________ Kalau Anda seorang penyuluh pertanian, entah itu ASN daerah, pusat, THL-TBPP, atau PPPK, mungkin akan sepakat bahwa kita ini punya rumah bersama bernama Perhiptani . Sebuah organisasi profesi yang setidaknya di atas kertas bertugas memperjuangkan nasib dan kehormatan penyuluh. Namun demikian mari kita bertanya dengan jujur: Apakah rumah itu benar-benar terbuka dan mendengar semua penghuninya? Pertanyaan ini muncul dari banyak teman kita—khususnya para penyuluh PPPK —yang merasa seperti tamu di rumah sendiri . Sudah menyetor iuran, aktif hadir di forum, bahkan tak sedikit yang menjabat dijajaran kepengurusan. Tetapi ketika berbicara tentang advokasi nasib PPPK , suara mereka seakan bergema di ruang kosong. 📌 Jangan Salah, Ini Bukan Soal Tidak Bersyukur Kami tahu rezeki PPPK adalah bagian tak terpisahkan dari buah perjuangan yang  panjang. Kami bersyukur...

Kalau Koperasi Soko Guru, Kenapa Ekonominya Dipegang Korporasi?

Kalau Koperasi Soko Guru, Kenapa Ekonominya Dipegang Korporasi? “Koperasi adalah soko guru perekonomian nasional.” Kalimat ini akrab di telinga, tapi asing dalam kenyataan. Di bulan Juli yang disebut sebagai bulan koperasi , biasanya kita menyaksikan banyak seminar, perayaan, hingga lomba yang bernuansa historis dan idealis. Tapi setelah itu? Koperasi sering kembali tenggelam di antara arus dominasi korporasi dan platform digital yang lebih cepat, efisien, dan menarik bagi masyarakat. Apakah koperasi masih layak disebut soko guru ekonomi nasional, atau hanya slogan yang terus diulang tanpa daya dukung nyata? 💡 Koperasi: Konstitusional tapi Tertinggal UUD 1945 Pasal 33 ayat 1 menegaskan: “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.” Inilah dasar filosofis koperasi. Bahkan Bung Hatta—yang dijuluki Bapak Koperasi Indonesia —mewujudkan koperasi sebagai sarana rakyat untuk merdeka secara ekonomi. Namun kini, koperasi justru banyak yang hidup s...

Akal-Akal Balung: Ketika Akal dan Tulang Masih Kompak

Gambar
Akal-Akal Balung: Ketika Akal dan Tulang Masih Kompak\\ (Storytelling) Oleh : Sutoyo __________________ Disebuah petak lahan tembakau milik Poktan Suka Tani, Desa Gowong, Kecamatan Bruno, para petani sepuh terlihat sibuk menyiram tanaman tembakau. Namun bukan dengang menggunakan  semprotan modern, bukan pula dengan irigasi tetes. Mereka menggunakan cara yang sederhana tapi jenius: air dialirkan dari sumber yang jauh menggunakan pipa paralon kemudian ditampung disebuah embung kecil yang dibuat dari galian tanah. Dari embung inilah air diambil dengan menggunakan gayung untuk dimasukkana kedalam ember dan gembor untuk kemudiana disiramkan ke setiap tanaman. Apa yang mereka lakukan bukan sekadar kerja tetapi sebuah pelajaran diam-diam tentang makna hidup, daya tahan, dan kreativitas. Disaat banyak orang menyerah pada kondisi, mereka justru mencari jalan, meski harus melawan usia dan cuaca. Dalam bahasa Jawa diistilahkan sebagai “ akal-akal balung ” yang sering diasosiasikan secara s...

Tarif 0% untuk Produk AS: Ancaman Ketahanan Pangan

Tarif 0% untuk Produk AS: Ancaman Diam-Diam bagi Ketahanan Pangan Indonesia (Opini) Oleh : Sutoyo ___________________ Ketahanan pangan bukan semata soal produksi lokal, tetapi juga strategi perlindungan terhadap sistem pangan nasional dari gempuran produk dari luar. Dalam konteks ini, keputusan untuk memberikan tarif impor 0% kepada sejumlah produk pertanian dan peternakan dari Amerika Serikat patut dikritisi secara serius. Menurut laporan Bisnis.com (2025), beberapa produk pertanian AS seperti daging sapi, buah-buahan, dan produk susu masuk ke pasar Indonesia tanpa beban tarif bea masuk. Artinya, produk-produk ini bisa bersaing langsung dengan produk lokal tanpa hambatan harga. Sementara petani dan peternak lokal kita masih berjibaku dengan biaya produksi yang tinggi, terbatasnya akses pasar, dan subsidi yang kian menyusut, produk luar justru mendapatkan karpet merah. Perang Tarif yang Tak Disadari Perang tarif bukan selalu tentang saling menaikkan pajak impor. Justru saat negara...

Sawah Itu Sekolah, Ngopi Itu Kurikulum

Gambar
Sawah Itu Sekolah dan Ngopi Itu Kurikulum Storytelling __________________ Suasana cuaca pagi yang agak mendung  di tengah lahan desa Gowong, Kecamatan Bruno,  petani anggota Poktan Rukun Tani, POPT dan penyuluh duduk berbaris diantara tanaman tembakau muda yang baru beberapa minggu ditanam. Tak ada meja rapat, tak ada layar presentasi. Yang ada hanyalah alas tanah, teko aluminium, gelas plastik, aneka makanan olahan khas desa dan secangkir kopi hangat. Obrolan mengalir begitu saja: ringan tapi mendalam, santai tapi penuh makna. Sawah itu sekolah. Ini bukan kiasan tapi kenyataan. Disanalah ilmu tumbuh bersamaan dengan tanaman. Petani adalah murid sekaligus guru. Penyuluh bukan dosen bertoga, tapi teman diskusi yang siap mendengar lebih banyak daripada bicara. Tak ada kurikulum resmi, tapi setiap pagi dan sore menyimpan pelajaran yang berharga: tentang cuaca, pupuk, serangan hama, strategi tanam, dan yang paling penting—tentang hidup dan kehidupan. Dan ngopi itu adalah kuriku...

Penyuluh Tak Lagi Menyuluh: Ketika Agen Perubahan Terjebak Administrasi dan Bantuan

Gambar
Koran Diva 🕯️ Penyuluh Tak Lagi Menyuluh: Ketika Agen Perubahan Terjebak Administrasi dan Bantuan 🔦 Penyuluh: Dari Obor yang Menyinari, Menjadi Bayang-Bayang Sistem Oleh : Sutoyo ___________________ Kata penyuluh berasal dari kata dasar  “suluh” , yang berarti obor atau penerang. Maka seorang penyuluh sejatinya adalah mereka yang membawa cahaya pengetahuan dan harapan ke tengah gelapnya ketidaktahuan dan ketidakpastian petani. Namun kini obor itu kian meredup sebab banyak penyuluh kehilangan “ruh penyuluhannya.” Yang tersisa hanyalah tubuh administratif: sibuk dengan laporan, aplikasi, zoom meeting,  verifikasi dan lain sebagainya. Memang mereka tetap bergerak, tetapi tidak lagi menyinari. “Kalau penyuluh tak lagi menjadi penerang, maka ia hanya akan jadi bayangan dari sistem. Bekerja, tapi tak menghidupkan. Hadir, tapi tak menggerakkan.” 📉 Bukti di Lapangan: Petani Menjerit, Suluh Tak Menyala Keresahan ini bukanlah fiksi. Diberbagai daerah petani mulai merasakan k...