Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2025

Swasembada Bukan Sekadar Statistik: Saatnya Pangan Kembali ke Tangan Rakyat

  Swasembada Bukan Sekadar Statistik: Saatnya Pangan Kembali ke Tangan Rakyat Oleh: Abuwaras _________________ Sebuah laporan riset yang dimuat oleh CNBC Indonesia (22 Juli 2025) dengan tajuk “Ranking Swasembada Pangan Dunia: Posisi RI Mengejutkan!” mengulas temuan jurnal ilmiah Nature Food yang menyoroti ketimpangan antara produksi pangan nasional dan kebutuhan konsumsi ideal berbasis diet sehat dan berkelanjutan. Indonesia disebut mampu swasembada diempat dari tujuh kategori pangan—setara dengan Thailand dan Myanmar. Sekilas ini terdengar menggembirakan. Tetapi benarkah capaian ini pantas dirayakan? Ataukah hanya ilusi dari segi angka? Panggung Statistik: Sebuah Ilusi Kemajuan? Dalam laporan tersebut Indonesia disebut swasembada buah (108%), kacang-kacangan (187%), biji-bijian berpati (172%), dan ikan (166%). Namun, saat kita telusuri lebih mendalam, terdapat catatan yang serius: Sayuran hanya 41% dari kebutuhan nasional, Produk susu malah  nol persen (0%). ...

Aglomerasi Pertanian: Ketika Peta Komoditas Bertemu dengan Peta Kearifan

Gambar
                                                                               Ilustrasi Aglomerasi Pertanian: Ketika Peta Komoditas Bertemu dengan Peta Kearifan Oleh: Sutoyo Blog StoryLab Sutoyo | 2025 “Aglomerasi”  barangkali terdengar seperti istilah yang lebih cocok digunakan untuk dunia industri, startup, atau kota metropolitan. Tetapi siapa yang menyangka bahwa konsep ini kini sebenarnya sudah  masuk kedalam sektor pertanian. Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan (BP Taskin) bahkan telah membagi wilayah-wilayah di Jawa Barat dan Jawa Tengah berdasarkan sektor unggulan dalam skema aglomerasi sektoral . ( Indramayu, Jawa Barat, Senin (21/7/2025). ANTARA/Fathnur Rohman). Indramayu, Cirebon, dan Brebes difokuskan ke sektor pangan, Kuningan ke energi baru terbarukan, dan K...

KOKAM Jadi Petani, Lalu JATAM Ngapain?

Gambar
Foto : MUHAMMADIYAH.OR.ID, SLEMAN KOKAM Jadi Petani, Lalu JATAM Ngapain? Refleksi Kritis atas Sinergi Muhammadiyah dan Polri dalam Program Ketahanan Pangan Oleh : Sutoyo ____________________ Apel Akbar Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah (KOKAM) yang digelar di Stadion Tridadi, Sleman (Ahad, 20 Juli 2025) menjadi sorotan nasional. Selain dihadiri tokoh-tokoh penting seperti Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Menteri PMK Muhadjir Effendy, dan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, acara ini menjadi panggung pernyataan tekad KOKAM mendukung program ketahanan pangan nasional. Dalam sambutannya, Kapolri mengapresiasi militansi KOKAM dan menyatakan bahwa Polri menggandeng KOKAM sebagai mitra strategis dalam program penanaman 1 juta hektar jagung. Sebagai langkah konkret, turut diteken nota kesepahaman (MoU) antara Polri dan PP Muhammadiyah untuk penanaman jagung di atas lahan seluas 10.000 hektar. Sumber: muhammadiyah.or.id – “KOKAM dan Polri Sinergi Wujudkan Keta...

Apresiasi Tinggi untuk POPT: Melepas Predator di Ladang Tembakau Watuduwur

Gambar
Apresiasi Tinggi untuk POPT: Melepas Predator di Ladang Tembakau Watuduwur Oleh : Sutoyo ______________ Watuduwur, Bruno, Senin 21 Juli 2025__ . Ditengah tantangan pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) yang semakin kompleks, langkah sederhana namun visioner dilakukan oleh petugas Pengendali OPT (POPT) Sugiyo dan Agal di Watuduwur, Kecamatan Bruno. Mereka melepas predator alami ke lahan petani tembakau sebagai bagian dari strategi pengendalian hayati. Bukan sekadar kegiatan seremonial, tindakan ini adalah bentuk apresiasi terhadap pendekatan ekologi—dimana petani dan alam semestinya bukan saling melawan, melainkan saling berdampingan. Selama ini gerakan pengendalian OPT cenderung bersifat kuratif , yakni dilakukan setelah populasi hama mencapai ambang pengendalian atau setelah terjadi kerusakan ekonomi. Padahal, pendekatan preventif jauh lebih efektif dan berkelanjutan. Salah satunya adalah dengan mengoptimalkan peran musuh alami atau predator. Melepas predator seperti menya...

Kita bisa kenyang dari pangan impor

“Kedaulatan Pangan: Saatnya Pangan Tak Hanya Cukup, Tapi Juga Berdaulat” Oleh: Abuwaras Ditengah gegap gempita swasembada dan kecemasan krisis pangan global, kita sering terjebak pada satu pertanyaan besar: apakah cukup sekadar kenyang ? Atau seharusnya kita bertanya: siapa yang mengendalikan pangan kita? Disinilah konsep kedaulatan pangan menjadi penting. Ia bukan sekadar soal “pangan tersedia”, tapi siapa yang menentukan cara kita menanam, makan, dan mengatur sistem pangan itu sendiri . 🍚 Dari Ketahanan Menuju Kedaulatan Selama ini kita terlalu lama berkutat pada istilah “ ketahanan pangan ”. Konsep ini fokus pada ketersediaan dan keterjangkauan , tapi tidak peduli apakah itu dari beras lokal atau dari gandum impor yang menumpuk di pelabuhan. Asal tersedia, semua dianggap aman. Sementara itu, petani kecil tetap terpinggirkan , pangan lokal terlupakan, dan tanah kita terus-menerus dijejali pupuk kimia serta benih paten. Kedaulatan pangan datang menawarkan arah baru. Bukan ha...

Ketahanan, Kemandirian, atau Kedaulatan? Saatnya Kita Tidak Salah Kaprah Lagi Soal Pangan

Ketahanan, Kemandirian, atau Kedaulatan? Saatnya Kita Tidak Salah Kaprah Lagi Soal Pangan Oleh : Abuwaras ____________________ Ditengah gencarnya isu krisis pangan global kita sering disuguhi dengan narasi dari pemerintah soal keberhasilan menjaga ketahanan pangan . Mediapun turut menyorot soal stok beras yang aman, pangan yang tersedia, dan harga yang relatif stabil. Tapi pertanyaannya: benarkah kita sudah aman? Ataukah4 justru terlena dalam ilusi kenyang yang semu? Salah satu akar masalahnya terletak pada kerancuan istilah . Banyak pihak — termasuk pengambil kebijakan — masih mencampuradukkan istilah ketahanan pangan , kemandirian pangan , dan kedaulatan pangan . Padahal, secara filosofi, arah kebijakan, dan dampaknya di lapangan, ketiganya berbeda jauh. Ketahanan Pangan: Pangan Ada, Tapi Bisa Saja Petani Tak Berdaya Menurut FAO ( Food and Agriculture Organization ) , food security adalah kondisi di mana semua orang, setiap saat, memiliki akses fisik dan ekonomi terhadap makanan...

Penyuluh PPPK: Sudah Jadi Anggota, Tapi Masih Jadi Tamu?"

Gambar
"Penyuluh PPPK: Sudah Jadi Anggota, Tapi Masih Jadi Tamu?" Oleh: Seorang Warga Biasa Perhiptani ____________________ Kalau Anda seorang penyuluh pertanian, entah itu ASN daerah, pusat, THL-TBPP, atau PPPK, mungkin akan sepakat bahwa kita ini punya rumah bersama bernama Perhiptani . Sebuah organisasi profesi yang setidaknya di atas kertas bertugas memperjuangkan nasib dan kehormatan penyuluh. Namun demikian mari kita bertanya dengan jujur: Apakah rumah itu benar-benar terbuka dan mendengar semua penghuninya? Pertanyaan ini muncul dari banyak teman kita—khususnya para penyuluh PPPK —yang merasa seperti tamu di rumah sendiri . Sudah menyetor iuran, aktif hadir di forum, bahkan tak sedikit yang menjabat dijajaran kepengurusan. Tetapi ketika berbicara tentang advokasi nasib PPPK , suara mereka seakan bergema di ruang kosong. 📌 Jangan Salah, Ini Bukan Soal Tidak Bersyukur Kami tahu rezeki PPPK adalah bagian tak terpisahkan dari buah perjuangan yang  panjang. Kami bersyukur...

Kalau Koperasi Soko Guru, Kenapa Ekonominya Dipegang Korporasi?

Kalau Koperasi Soko Guru, Kenapa Ekonominya Dipegang Korporasi? “Koperasi adalah soko guru perekonomian nasional.” Kalimat ini akrab di telinga, tapi asing dalam kenyataan. Di bulan Juli yang disebut sebagai bulan koperasi , biasanya kita menyaksikan banyak seminar, perayaan, hingga lomba yang bernuansa historis dan idealis. Tapi setelah itu? Koperasi sering kembali tenggelam di antara arus dominasi korporasi dan platform digital yang lebih cepat, efisien, dan menarik bagi masyarakat. Apakah koperasi masih layak disebut soko guru ekonomi nasional, atau hanya slogan yang terus diulang tanpa daya dukung nyata? 💡 Koperasi: Konstitusional tapi Tertinggal UUD 1945 Pasal 33 ayat 1 menegaskan: “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.” Inilah dasar filosofis koperasi. Bahkan Bung Hatta—yang dijuluki Bapak Koperasi Indonesia —mewujudkan koperasi sebagai sarana rakyat untuk merdeka secara ekonomi. Namun kini, koperasi justru banyak yang hidup s...

Akal-Akal Balung: Ketika Akal dan Tulang Masih Kompak

Gambar
Akal-Akal Balung: Ketika Akal dan Tulang Masih Kompak\\ (Storytelling) Oleh : Sutoyo __________________ Disebuah petak lahan tembakau milik Poktan Suka Tani, Desa Gowong, Kecamatan Bruno, para petani sepuh terlihat sibuk menyiram tanaman tembakau. Namun bukan dengang menggunakan  semprotan modern, bukan pula dengan irigasi tetes. Mereka menggunakan cara yang sederhana tapi jenius: air dialirkan dari sumber yang jauh menggunakan pipa paralon kemudian ditampung disebuah embung kecil yang dibuat dari galian tanah. Dari embung inilah air diambil dengan menggunakan gayung untuk dimasukkana kedalam ember dan gembor untuk kemudiana disiramkan ke setiap tanaman. Apa yang mereka lakukan bukan sekadar kerja tetapi sebuah pelajaran diam-diam tentang makna hidup, daya tahan, dan kreativitas. Disaat banyak orang menyerah pada kondisi, mereka justru mencari jalan, meski harus melawan usia dan cuaca. Dalam bahasa Jawa diistilahkan sebagai “ akal-akal balung ” yang sering diasosiasikan secara s...

Tarif 0% untuk Produk AS: Ancaman Ketahanan Pangan

Tarif 0% untuk Produk AS: Ancaman Diam-Diam bagi Ketahanan Pangan Indonesia (Opini) Oleh : Sutoyo ___________________ Ketahanan pangan bukan semata soal produksi lokal, tetapi juga strategi perlindungan terhadap sistem pangan nasional dari gempuran produk dari luar. Dalam konteks ini, keputusan untuk memberikan tarif impor 0% kepada sejumlah produk pertanian dan peternakan dari Amerika Serikat patut dikritisi secara serius. Menurut laporan Bisnis.com (2025), beberapa produk pertanian AS seperti daging sapi, buah-buahan, dan produk susu masuk ke pasar Indonesia tanpa beban tarif bea masuk. Artinya, produk-produk ini bisa bersaing langsung dengan produk lokal tanpa hambatan harga. Sementara petani dan peternak lokal kita masih berjibaku dengan biaya produksi yang tinggi, terbatasnya akses pasar, dan subsidi yang kian menyusut, produk luar justru mendapatkan karpet merah. Perang Tarif yang Tak Disadari Perang tarif bukan selalu tentang saling menaikkan pajak impor. Justru saat negara...

Sawah Itu Sekolah, Ngopi Itu Kurikulum

Gambar
Sawah Itu Sekolah dan Ngopi Itu Kurikulum Storytelling __________________ Suasana cuaca pagi yang agak mendung  di tengah lahan desa Gowong, Kecamatan Bruno,  petani anggota Poktan Rukun Tani, POPT dan penyuluh duduk berbaris diantara tanaman tembakau muda yang baru beberapa minggu ditanam. Tak ada meja rapat, tak ada layar presentasi. Yang ada hanyalah alas tanah, teko aluminium, gelas plastik, aneka makanan olahan khas desa dan secangkir kopi hangat. Obrolan mengalir begitu saja: ringan tapi mendalam, santai tapi penuh makna. Sawah itu sekolah. Ini bukan kiasan tapi kenyataan. Disanalah ilmu tumbuh bersamaan dengan tanaman. Petani adalah murid sekaligus guru. Penyuluh bukan dosen bertoga, tapi teman diskusi yang siap mendengar lebih banyak daripada bicara. Tak ada kurikulum resmi, tapi setiap pagi dan sore menyimpan pelajaran yang berharga: tentang cuaca, pupuk, serangan hama, strategi tanam, dan yang paling penting—tentang hidup dan kehidupan. Dan ngopi itu adalah kuriku...

Penyuluh Tak Lagi Menyuluh: Ketika Agen Perubahan Terjebak Administrasi dan Bantuan

Gambar
Koran Diva 🕯️ Penyuluh Tak Lagi Menyuluh: Ketika Agen Perubahan Terjebak Administrasi dan Bantuan 🔦 Penyuluh: Dari Obor yang Menyinari, Menjadi Bayang-Bayang Sistem Oleh : Sutoyo ___________________ Kata penyuluh berasal dari kata dasar  “suluh” , yang berarti obor atau penerang. Maka seorang penyuluh sejatinya adalah mereka yang membawa cahaya pengetahuan dan harapan ke tengah gelapnya ketidaktahuan dan ketidakpastian petani. Namun kini obor itu kian meredup sebab banyak penyuluh kehilangan “ruh penyuluhannya.” Yang tersisa hanyalah tubuh administratif: sibuk dengan laporan, aplikasi, zoom meeting,  verifikasi dan lain sebagainya. Memang mereka tetap bergerak, tetapi tidak lagi menyinari. “Kalau penyuluh tak lagi menjadi penerang, maka ia hanya akan jadi bayangan dari sistem. Bekerja, tapi tak menghidupkan. Hadir, tapi tak menggerakkan.” 📉 Bukti di Lapangan: Petani Menjerit, Suluh Tak Menyala Keresahan ini bukanlah fiksi. Diberbagai daerah petani mulai merasakan k...

Pupuk Bersubsidi: Benih Murah yang Menumbuhkan Hama Mahal

  Pupuk Bersubsidi: Benih Murah yang Menumbuhkan Hama Mahal Kebijakan pupuk bersubsidi telah lama menjadi andalan pemerintah Indonesia untuk mendukung ketahanan pangan dan membantu petani kecil. Di atas kertas subsidi pupuk terdengar seperti solusi murah-meriah untuk meningkatkan produksi. Namun dibalik harga yang murah tersembunyi harga mahal yang harus dibayar dalam bentuk ledakan hama, penyakit tanaman, dan kerusakan ekosistem tanah. Sebuah ironi: benih murah yang justru menumbuhkan hama mahal. Ketimpangan Pemupukan: Akibat Sistem Subsidi yang Tidak Seimbang Sejak awal pupuk yang disubsidi pemerintah didominasi oleh Urea dan NPK. Dua jenis pupuk ini memang vital, tetapi apabila digunakan tanpa kombinasi pupuk organik dan unsur mikro lainnya, dampaknya bisa merusak. Penelitian oleh Balai Penelitian Tanah (2020), menunjukkan bahwa sekitar 73% petani tidak melakukan pemupukan berimbang. Mereka hanya menggunakan jenis pupuk yang tersedia dalam program subsidi, bukan berdasarkan p...

“Yang Disemprot Hama, Tapi Hatinya Juga Perlu Disemprot”

  “Yang Disemprot Hama, Tapi Hatinya Juga Perlu Disemprot” Oleh: Abuwaras ___________________ Setiap terjadi ledakan hama wereng katanya karena hujan yang salah waktu...benarkah ? Langit disalahkan, awan dituding sebagai biang kerok, air hujan dianggap musuh tanaman. Padahal siapa yang menyuruh menanam di sawah secara seragam?. Siapa yang menyemprot sembarangan? Siapa yang mengusir burung, membunuh katak, mengeringkan parit, dan menggusur semak di pematang? Siapa lagi kalau bukan  Manusia. Tapi tetap saja kalimat yang keluar dari mulut:  “Itu gara-gara hujan, Pak.” 📖  Ayat Sudah Turun Jauh-Jauh Hari Sebelum Kejadian, Tetapi Kita Tak Juga Tunduk Allāh sudah memperingatkan dalam Surah Ar-Rūm ayat 41: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia...” Tetapi manusia memang makhluk yang super unik, kalau berprestasi bilang:  "Ini hasil kerja keras saya." Kalau gagal panen bilang:  "Ini karena cuaca buruk." Kata Abuwaras...

Bakar Padi karena Hama: Alarm Gagalnya Sistem, Bukan Salah Petani

🔥 Bakar Padi karena Hama: Alarm Gagalnya Sistem, Bukan Salah Petani Oleh: Sutoyo ___________________ Baru-baru ini publik dikejutkan oleh sebuah laporan dari media  Radar Nganjuk yang berjudul “Insektisida Tak Mempan, Bakar Padi Jadi Pilihan” (Radar Nganjuk, 9 Juli 2025). Dalam laporan tersebut sejumlah petani di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, dikabarkan telah nekat membakar tanaman padinya sendiri karena serangan hama yang tak kunjung dapat dikendalikan meskioun sudah berkali-kali disemprot dengan insektisida.  Peristiwa ini bukan sekadar cerita sedih petani yang gagal panen. Ini adalah alarm keras dari semesta  bahwa sistem pertanian kita sedang mengalami kegagalan struktural .  🔗 Sumber: Insektisida Tak Mempan, Bakar Padi Jadi Pilihan – Radar Nganjuk (Jawa Pos Group) 🧪 Insektisida: Dulu Solusi, Kini Berbalik Jadi Sumber Masalah Baru Ketergantungan pada pestisida kimia telah menjadi norma dalam pertanian modern sejak era Revolusi Hijau. Namun seperti ...

Sebuah Kisah Satir Abuwaras

Tanaman yang Diberi Infus, Lalu Dituduh Malas Menghisap (Sebuah Kisah Satir ala Abuwaras tentang Pertanian Modern) Oleh : Sutoyo ___________________ 👑  Negeri dengan Tanah Subur yang Mulai Layu Disebuah negeri yang dulu terkenal dengan tanahnya yang subur, rakyat bisa menanam apa saja. Saking suburnya senimanpun sampai menggubah lagu yang menggambarkan tanah syurga : Tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Tanpa pupuk pun hasilnya melimpah. Tanpa pestisida pun hama tak berani menggoda. Namun seiring dengan perubahan zaman, datanglah utusan dari kerajaan sebelah: “Wahai paduka Raja Yang Mulia, tanah Paduka akan jauh lebih hebat bila diberikan pupuk kimia! Ini pupuk luar biasa, sekali tabur langsung hijau. Tanpa ini, Paduka akan ketinggalan zaman!” Kemudian sang Raja pun tergoda oleh bujuk rayunya. Dan lahan-lahan rakyatpun kemudian disemprot, ditaburi, disuntik dengan pupuk modern. Memang daunnya tampak cepat sekali berubah menjadi hijau. Hasilnyapun juga melimpah diawal. Akan ...

Kemarau Basah Mungkinkah Cara Alam “Memaksa” Sistem Agribisnis Kembali ke Sistem Agrikultur

Kemarau Basah Mungkinkah Cara Alam “Memaksa” Sistem Agribisnis Kembali ke Sistem Agrikultur Oleh: StoryLab Sutoyo ___________________ Fenomena kemarau basah kembali terjadi. Hujan yang tak kunjung reda dibulan-bulan yang seharusnya kering membuat para petani kelimpungan. Padi rebah menjelang panen, bawang dan cabai membusuk, sementara pupuk kimia yang larut bersama air hanya menambah beban biaya produksi. Dibalik kekacauan musim seperti ini seolah ada pesan yang tak kasatmata tetapi terasa begitu kuat: alam sedang memaksa manusia untuk sadar, bahkan mungkin untuk kembali pulang. Pulang ke mana? Pulang ke sistem agrikultur , bukan sistem agribisnis rakus yang memeras lahan, air, dan petani demi keuntungan semata. Agribisnis: Antara Janji dan Jerat Dulu agribisnis datang dengan janji: panen lebih cepat, hasil melimpah, pasar terbuka lebar. Tetapi kenyataannya, sistem ini memaksa pertanian untuk bekerja seperti layaknya pabrik , dengan benih hibrida, pupuk sintetis, pestisida sistem...

Tak Ada Kata Pensiun bagi Petani Sejati: Kisah Mad Hasyim dari Desa Gowong

Gambar
  Tak Ada Kata Pensiun bagi Petani Sejati: Kisah Mad Hasyim dari Desa Gowong Oleh : Sutoyo __________________ Dibalik sejuknya udara sore hari ini di Desa Gowong, Kecamatan Bruno, berdiri sosok yang layak dijadikan teladan: Dialag  Mad Hasyim, petani berusia 70 tahun yang masih setia menekuni tanam tembakau. Bukan hanya urusan tanam-menanam, ia hadir penuh dari awal: sejak sosialisasi program GAP  (Good Agricultural Practices)  pertama kali diadakan di baledesa, selapanan rutin Kelompok Tani Suka Tani, hingga hari ini aktif mengikuti kegiatan lapangan GAP  tembakau. Tua Raga, Muda Jiwa Disaat sebagian besar orang seusianya memilih duduk santai di rumah, Mad Hasyim justru memilih jalan berbeda: setiap pagi dan sore ia datang ke lahan . Ia tidak sekadar hadir secara fisik, tetapi juga menanamkan semangat dan menjadi panutan bagi anggota kelompok. Dengan topi lusuh, kemeja panjang, dan celana pendek yang sering basah dan berlumpur, Mad Hasyim tak segan jongkok...

Catatan Penyuluh

Gambar
Porter Gunung Rinjani vs Porter BPP Bruno  Oleh: Sutoyo ___________________ Beberapa waktu terakhir media sosial dibanjiri dengan banyaknya pujian dan ungkapan rasa haru untuk para porter Gunung Rinjani . Mereka digambarkan sebagai pahlawan pendakian: bayangkan memanggul beban hingga belasan kilo, menyiapkan tenda untuk beristirahat, menyiapkan makan hangat di ketinggian, menyeduhkan kopi di atas awan, bahkan menenangkan pendaki yang megap-megap di tanjakan. Lengkap dengan senyuman ramah, sandal jepit, dan langkah ringan — meski jalannya penuh dengan bebatuan dan curam. Mereka kini menjadi ikon ketangguhan dalam kesederhanaan . Tapi tunggu dulu... Ada porter lain — yang tak dilihat oleh kamera, tak masuk kedalam  story , apalagi mendapatkan bintang lima. Dibalik jalanan tanah dan bebatuan di Kecamatan Bruno, ada satu sosok tak biasa. Memang dia bukan manusia, tapi porter besi tua yang tetap setia mengantar penyuluh dari ladang ke ladang, naik turun pegunungan. Nama...