Sawah Itu Sekolah, Ngopi Itu Kurikulum



Sawah Itu Sekolah dan Ngopi Itu Kurikulum

Storytelling

__________________

Suasana cuaca pagi yang agak mendung  di tengah lahan desa Gowong, Kecamatan Bruno,  petani anggota Poktan Rukun Tani, POPT dan penyuluh duduk berbaris diantara tanaman tembakau muda yang baru beberapa minggu ditanam. Tak ada meja rapat, tak ada layar presentasi. Yang ada hanyalah alas tanah, teko aluminium, gelas plastik, aneka makanan olahan khas desa dan secangkir kopi hangat. Obrolan mengalir begitu saja: ringan tapi mendalam, santai tapi penuh makna.

Sawah itu sekolah. Ini bukan kiasan tapi kenyataan. Disanalah ilmu tumbuh bersamaan dengan tanaman. Petani adalah murid sekaligus guru. Penyuluh bukan dosen bertoga, tapi teman diskusi yang siap mendengar lebih banyak daripada bicara. Tak ada kurikulum resmi, tapi setiap pagi dan sore menyimpan pelajaran yang berharga: tentang cuaca, pupuk, serangan hama, strategi tanam, dan yang paling penting—tentang hidup dan kehidupan.

Dan ngopi itu adalah kurikulum. Mungkin sekilas terdengar jenaka, tapi di situlah titik temu antara teori dan kenyataan. Dalam seduhan kopi, ada kehangatan yang menyatukan hati. Disela hisapan rokok dan tawa renyah, diskusi tentang dosis pestisida dan jadwal pemupukan menjadi lebih manusiawi. Bukan soal siapa paling yang pintar, tetapi siapa yang paling peduli.

Di lapangan seperti ini penyuluh tak perlu berbicara panjang kali lebar. Cukup hadir. Cukup duduk di tanah yang sama, memegang cangkir yang sama, dan mendengar suara petani tanpa merasa lebih tahu segalanya. Penyuluh sejati tak diukur dari panjangnya laporan, tapi dari seberapa sering petani mencari dan menyebut nama penyuluh saat membutuhkan solusi.

Pagi itu satu per satu petani mulai bercerita: ada yang mengeluh soal bibit yang tumbuh tak seragam, ada pula yang mengusulkan penanaman tumpangsari untuk menekan biaya. Seorang petani tua bahkan menyampaikan keresahannya soal panen yang makin tak menentu karena cuaca tak lagi dapat ditebak.

Dan ditengah semua itu, penyuluh cukup menyimak. Sesekali menyelutuk sembari memberikan pandangan, tetapi lebih sering mengangguk dan tersenyum. Kadang-kadang justru dari celotehan ringan itulah muncul ide-ide besar—ide yang tak lahir dari seminar diruang ber AC, tapi dari sawah-ladang yang bersahaja.

Diera digital ini banyak penyuluh terjebak dalam angka-angka, form laporan, dan target yang harus diselesaikan di layar komputer. Tetapi di lahan ini mengingatkan kita bahwa tugas penyuluh bukan hanya mencatat, tetapi merawat. Bukan hanya mendata, namun mendampingi. Sebab bagi petani, penyuluh bukanlah petugas. Ia adalah saudara dimusim tanam, rekan dimusim panen, dan pendengar yang baik di antara dua tegukan kopi.

Kita sering mengira pendidikan hanya terjadi di ruang kelas. Padahal sawah dan ladang juga sekolah. Hanya bedanya, sekolah disini mengajarkan ketekunan, kesabaran, dan kearifan dalam membaca tanda-tanda alam. Dan di sekolah ini ngopi bukanlah sekadar istirahat, tapi bagian dari proses pembelajaran—kurikulum yang tak tertulis, tetapi hidup dalam keseharian.

____________________

📍Gowong, Bruno – 16 Juli 2025
📸 Dokumentasi Penyuluh Lapangan
✍️ StoryLab Sutoyo


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penyuluh Tak Lagi Menyuluh: Ketika Agen Perubahan Terjebak Administrasi dan Bantuan

KOKAM Jadi Petani, Lalu JATAM Ngapain?

Apresiasi Tinggi untuk POPT: Melepas Predator di Ladang Tembakau Watuduwur