Swasembada Bukan Sekadar Statistik: Saatnya Pangan Kembali ke Tangan Rakyat
Swasembada Bukan Sekadar Statistik: Saatnya Pangan Kembali ke Tangan Rakyat
Oleh: Abuwaras
_________________
Sebuah laporan riset yang dimuat oleh CNBC Indonesia (22 Juli 2025) dengan tajuk “Ranking Swasembada Pangan Dunia: Posisi RI Mengejutkan!” mengulas temuan jurnal ilmiah Nature Food yang menyoroti ketimpangan antara produksi pangan nasional dan kebutuhan konsumsi ideal berbasis diet sehat dan berkelanjutan. Indonesia disebut mampu swasembada diempat dari tujuh kategori pangan—setara dengan Thailand dan Myanmar.
Sekilas ini terdengar menggembirakan. Tetapi benarkah capaian ini pantas dirayakan? Ataukah hanya ilusi dari segi angka?
Panggung Statistik: Sebuah Ilusi Kemajuan?
Dalam laporan tersebut Indonesia disebut swasembada buah (108%), kacang-kacangan (187%), biji-bijian berpati (172%), dan ikan (166%). Namun, saat kita telusuri lebih mendalam, terdapat catatan yang serius:
-
Sayuran hanya 41% dari kebutuhan nasional,
-
Produk susu malah nol persen (0%).
Dengan kata lain dari sisi keseimbangan gizi nasional kita masih jauh dari cukup. Anak-anak kita kekurangan susu bukan karena produksi lokal rendah semata, tetapi karena sistem distribusi dan orientasi kebijakan yang belum berpihak pada keberlanjutan jangka panjang.
Standar Diet Barat untuk Masalah Pangan Global?
Yang menjadi persoalan sejatinya bukan hanya persentase, tetapi juga standar yang dipakai: Livewell Diet yang berbasis konsep WWF. Ini diet sehat berstandar Eropa, jadi belum tentu mencerminkan keragaman pangan lokal seperti daun kelor, tempe, rebung, atau lauk pauk tradisional seperti ikan teri dan belalang goreng yang sudah terbukti bernilai gizi tinggi dan ramah lingkungan.
Bukankah kedaulatan pangan seharusnya berarti hak menentukan sendiri sistem pangan—bukan menyesuaikan selera dan peta kebutuhan negara lain?
Impor: Solusi Cepat, Luka Panjang
Dalam laporan tersebut juga disebutkan bahwa Indonesia memilih impor untuk beberapa komoditas karena barang impor lebih murah. Pernyataan ini memang benar secara ekonomi pasar, tetapi cukup menyedihkan apabila dijadikan alasan ya g permanen.
Kenapa impor bisa lebih murah?
-
Karena negara eksportir seperti Australia atau Belanda memberi subsidi besar kepada petani mereka.
-
Karena distribusi pangan dalam negeri kita tidak murah dan tidak efisien.
-
Karena lahan-lahan subur kita disulap menjadi pabrik, bukan lagu sawah-ladang.
Kita mungkin lupa bahwa petani lokal bukan hanya soal produksi tetapi menjadi subjek hidup yang harus dijaga agar tetap eksis dan berkembang.
Petani Tidak Butuh Ranking, Tapi Kepastian
Di desa kami tidak ada yang bicara soal “ranking swasembada dunia”. Petani lebih peduli:
-
Apakah harga gabah turun atau naik?
-
Apakah pupuk tersedia tepat waktu?
-
Apakah lahan sawah akan bertahan atau berubah menjadi gudang logistik?
Swasembada bukan hanya sekadar angka-angka statistik. Ia adalah persoalan harga diri sebuah bangsa. Soal siapa yang menanam, siapa yang makan, dan siapa yang untung.
Saatnya Pangan Kembali ke Tangan Rakyat
Riset dan statistik itu tetap penting, tetapi jangan sampai mengaburkan kenyataan di lapangan. Kita membutuhkan lebih dari sekadar "ranking"; kita butuh keberpihakan. Kita butuh:
-
Perlindungan terhadap petani kecil,
-
Distribusi pangan yang adil,
-
Revitalisasi pangan lokal berbasis budaya dan alam.
Pangan adalah urusan hidup-mati. Dan kita tidak boleh menyerahkannya hanya pada pasar dan peringkat internasional.
Referensi Utama:
CNBC Indonesia. (22 Juli 2025). Ranking Swasembada Pangan Dunia: Posisi RI Mengejutkan! https://www.cnbcindonesia.com/research/20250722141347-128-651235
Stehl, J., dkk. (2025). Gap between national food production and food-based dietary guidance highlights lack of national self-sufficiency. Nature Food.
Komentar
Posting Komentar