Bakar Padi karena Hama: Alarm Gagalnya Sistem, Bukan Salah Petani
๐ฅ Bakar Padi karena Hama: Alarm Gagalnya Sistem, Bukan Salah Petani
Oleh: Sutoyo
___________________
Baru-baru ini publik dikejutkan oleh sebuah laporan dari media Radar Nganjuk yang berjudul “Insektisida Tak Mempan, Bakar Padi Jadi Pilihan” (Radar Nganjuk, 9 Juli 2025). Dalam laporan tersebut sejumlah petani di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, dikabarkan telah nekat membakar tanaman padinya sendiri karena serangan hama yang tak kunjung dapat dikendalikan meskioun sudah berkali-kali disemprot dengan insektisida.
Peristiwa ini bukan sekadar cerita sedih petani yang gagal panen. Ini adalah alarm keras dari semesta bahwa sistem pertanian kita sedang mengalami kegagalan struktural.
๐ Sumber:
Insektisida Tak Mempan, Bakar Padi Jadi Pilihan – Radar Nganjuk (Jawa Pos Group)
๐งช Insektisida: Dulu Solusi, Kini Berbalik Jadi Sumber Masalah Baru
Ketergantungan pada pestisida kimia telah menjadi norma dalam pertanian modern sejak era Revolusi Hijau. Namun seperti halnya dengan antibiotik yang digunakan secara berlebihan, demikian juga pestisida dapat dipastikan akan menciptakan efek “boomerang”: resistensi hama.
Menurut data FAO dan IPM (Integrated Pest Management), penggunaan pestisida yang tidak terkontrol bisa mempercepat evolusi hama menjadi kebal. Artinya, makin banyak disemprot, justru makin kuat musuhnya dan makin sulit pula pengendaliannya.
Maka jangan heran apabila petani Nganjuk memilih “jalan terakhir”: dengan cara sudahlah dibakar saja sekalian!
๐ฅ Membakar: Solusi Instan yang Menghancurkan Ekosistem
Membakar bukan hanya merusak ekonomi petani, tapi juga menghancurkan fondasi ekologis lahan pertanian. Dampaknya apa saja:
-
Biota tanah musnah: Mikroorganisme dan cacing tanah yang menjaga kesuburan hilang.
-
Polusi udara dan emisi karbon meningkat: Menambah beban perubahan iklim global.
-
Hilangnya musuh alami hama: Seperti laba-laba, capung, dan burung kecil.
-
Memiskinkan kandungan bahan organik tanah.
Alih-alih menyelesaikan masalah, tindakan konyol ini justru memperpanjang krisis dan semakin memperberat musim tanam berikutnya.
๐ฑ Agroekologi: Kembali ke Sistem yang Bersahabat dengan Alam
Solusi bukan terletak pada menambah dosis racun, tetapi pada berdamai dengan ekosistem pertanian itu sendiri. Beberapa pendekatan agroekologi yang terbukti efektif di berbagai negara antara lain:
-
Diversifikasi tanaman: Hindari monokultur untuk memutus siklus hama.
-
Penanaman refugia: Menarik musuh alami hama seperti parasitoid dan predator serangga.
-
Rotasi tanaman dan tumpangsari: Memperkaya tanah dan memutus rantai infeksi.
-
Pemanfaatan pupuk organik dan kompos: Menghidupkan kembali tanah.
Laporan World Resources Institute (2020) juga menegaskan bahwa pendekatan agroekologis bisa mempertahankan produktivitas sekaligus memperbaiki daya dukung lingkungan.
๐ Edukasi, Bukan Sekadar Bantuan Obat (baca Racun)
Sudah saatnya petani tidak hanya dibantu dengan saprodi, tetapi juga pengetahuan dan keterampilan ekologis. Program PHT (Pengendalian Hama Terpadu) yang dikembangkan oleh FAO sejak 1980-an, semestinya diperkuat kembali dengan pendekatan lokal dan partisipatif.
Pemerintah, penyuluh dan POPT punya peran yang penting dan strategis, bukan hanya membagikan obat (racun), tapi benar-benar mentransformasikan cara pandang yang benar kepada bertani.
๐ง Reset Sistem Pertanian Kita!
Petani yang membakar padinya bukan gagal, mereka terjebak dalam sistem yang gagal memberikan jalan keluar. Kita tak bisa serta merta menyalahkan mereka jika negara dan kebijakan pertanian masih setengah hati dalam mendukung pertanian berkelanjutan.
Saatnya kita semua mengakui:
Yang butuh dibakar bukan padinya, tetapi sistem pertanian yang serakah dan tidak ramah kepada alam....Wallohualam Bishowab
๐ Referensi :
-
FAO. (2017). The Future of Food and Agriculture – Trends and Challenges.
-
WRI Indonesia. (2020). Transformasi Pertanian Berbasis Ekologi di Asia Tenggara.
-
IPM World Textbook, University of Minnesota.
Komentar
Posting Komentar