Tak Ada Kata Pensiun bagi Petani Sejati: Kisah Mad Hasyim dari Desa Gowong
Tak Ada Kata Pensiun bagi Petani Sejati: Kisah Mad Hasyim dari Desa Gowong
Oleh : Sutoyo
__________________
Dibalik sejuknya udara sore hari ini di Desa Gowong, Kecamatan Bruno, berdiri sosok yang layak dijadikan teladan: Dialag Mad Hasyim, petani berusia 70 tahun yang masih setia menekuni tanam tembakau. Bukan hanya urusan tanam-menanam, ia hadir penuh dari awal: sejak sosialisasi program GAP (Good Agricultural Practices) pertama kali diadakan di baledesa, selapanan rutin Kelompok Tani Suka Tani, hingga hari ini aktif mengikuti kegiatan lapangan GAP tembakau.
Tua Raga, Muda Jiwa
Disaat sebagian besar orang seusianya memilih duduk santai di rumah, Mad Hasyim justru memilih jalan berbeda: setiap pagi dan sore ia datang ke lahan. Ia tidak sekadar hadir secara fisik, tetapi juga menanamkan semangat dan menjadi panutan bagi anggota kelompok.
Dengan topi lusuh, kemeja panjang, dan celana pendek yang sering basah dan berlumpur, Mad Hasyim tak segan jongkok berjam-jam menanam bibit tembakau. Ditengah terik sinar matahari tangannya masih saja lincah, matanya tajam mengamati setiap tunas. “Saya ini memang sudah tua Mas, tapi kalau badan masih bisa digerakkan, ya saya gerak. Jangan mau kalah sama umur,” katanya sambil tersenyum.
Hadir dari Awal, Setia hingga Panen
Mad Hasyim adalah satu dari sedikit petani yang tidak pernah absen sejak tahap awal program GAP diluncurkan. Ia datang saat sosialisasi pertama di balai desa, duduk paling depan dan mendengarkan dengan penuh perhatian. Saat selapanan rutin Kelompok Tani Suka Tani digelar, ia selalu hadir membawa semangat dan pengalaman panjangnya.
Lebih dari itu, ketika GAP tembakau mulai diterapkan di lahan, ia menjadi salah satu yang paling rajin hadir. Ia tak malu belajar hal-hal baru, termasuk teknik budidaya yang lebih modern. “Ilmu itu terus berkembang. Kalau kita berhenti belajar, ya ketinggalan,” ujarnya.
Mewariskan Semangat, Bukan Sekadar Panen
Bagi Mad Hasyim ladang bukan hanya tempat bekerja, tapi ladang amal. Ia percaya bahwa menanam bukan hanya soal hasil panen, tetapi tentang mewariskan nilai: ketekunan, tanggung jawab, dan kebersamaan. Maka tak heran bila kehadirannya disetiap agenda kelompok selalu dinanti. Ia menjadi semacam kompas moral bagi petani lain.
“Kadang anak-anak muda itu ragu, malu ke sawah. Tapi kalau lihat saya masih mau jongkok, mereka jadi semangat lagi,” tuturnya.
Petani Sejati Tak Mengenal Kata Pensiun
Mad Hasyim mengajarkan kita satu hal penting: bahwa menjadi petani bukanlah semata-mata pekerjaan, tapi jalan hidup. Jalan yang ditempuh dengan cinta, dilalui dengan sabar, dan dituju untuk kemaslahatan banyak orang. Dalam usia senjanya ia justru tampil sebagai penopang semangat kolektif petani di desanya.
Mungkin nama Mad Hasyim tak tercetak di berita-berita nasional. Tapi di Desa Gowong, di ladang Poktan Suka Tani, dan di hati para petani muda yang mulai belajar cinta tanah, namanya terus hidup—sebagai simbol keteladanan dan bukti bahwa usia hanyalah angka, semangatlah yang menentukan langkah.
Ditengah krisis regenerasi petani dan tantangan global pertanian sosok seperti Mad Hasyim adalah mutiara yang tak boleh diabaikan. Ia membuktikan bahwa meskipun tubuh bisa renta, namun jiwa petani tak pernah pensiun. Justru diusia senja itulah, ia menanam sesuatu yang lebih besar: warisan semangat untuk generasi penerus.
__________________
Komentar
Posting Komentar