Akal-Akal Balung: Ketika Akal dan Tulang Masih Kompak




Akal-Akal Balung: Ketika Akal dan Tulang Masih Kompak\\

(Storytelling)

Oleh : Sutoyo

__________________

Disebuah petak lahan tembakau milik Poktan Suka Tani, Desa Gowong, Kecamatan Bruno, para petani sepuh terlihat sibuk menyiram tanaman tembakau. Namun bukan dengang menggunakan  semprotan modern, bukan pula dengan irigasi tetes. Mereka menggunakan cara yang sederhana tapi jenius: air dialirkan dari sumber yang jauh menggunakan pipa paralon kemudian ditampung disebuah embung kecil yang dibuat dari galian tanah. Dari embung inilah air diambil dengan menggunakan gayung untuk dimasukkana kedalam ember dan gembor untuk kemudiana disiramkan ke setiap tanaman.

Apa yang mereka lakukan bukan sekadar kerja tetapi sebuah pelajaran diam-diam tentang makna hidup, daya tahan, dan kreativitas. Disaat banyak orang menyerah pada kondisi, mereka justru mencari jalan, meski harus melawan usia dan cuaca.

Dalam bahasa Jawa diistilahkan sebagai “akal-akal balung” yang sering diasosiasikan secara sinis — seperti pura-pura sakit, mengeluh soal tulang dan badan demi menghindar dari tugas. Tetapi hari ini, saya ingin membalik makna itu.

Ditangan para petani sepuh inilah “akal-akal balung” berarti “usaha memeras akal dan tulang yang tersisa untuk tetap bertahan demi menanam sebuah harapan.” Ini bukan tentang pura-pura lemah, tapi tentang bagaimana orang yang sudah tidak muda lagi tetap setia menghidupi bumi dengan akal dan tulangnya.

Mereka tidak menunggu bantuan datangt Tidak mengeluh soal pupuk yang langka atau harga yang belum tentu. Mereka tahu bahwa menanam tembakau adalah pilihan pahit-manis yang harus dijalani dengan niat, bukan hanya dengan modal.

Teknologi mereka titak canggih, tetapi cukup. Air yang mereka alirkan dari jarak jauh lewat paralon putih yang melintang di pematang bukan sekadar soal teknis. Itu adalah metafora dari ketekunan yang mengalir — dari sumber daya yang minim, mereka tetap bisa berbagi air, berbagi harapan.

Dengan embung yang  mereka buat  dengan alat cangkul dan papan seadanya, air ditampung. Mereka bergantian menyiram, tanpa rebutan, tanpa kalkulasi. Tak ada insentif, tak ada program, tak ada piagam. Tetapi kerja mereka tetap bergerak.

Ini bukan proyek — ini tentang hidup dan kehidupan

Disinilah letak pentingnya kehadiran seorang penyuluh — bukan sekadar datang membawa pelatihan, tapi menyaksikan langsung bagaimana sawah dan ladang bisa menjadi sekolah kehidupan. Karena di sawah seperti inilah, kita belajar bahwa inovasi tak selalu lahir dari teknologi tinggi. Kadang justru lahir dari kepepet, dari situasi yang memaksa manusia untuk berpikir dan bergerak.

Dan kadang-kadang solusi yang paling menginspirasi justru lahir dari orang-orang yang tidak muda lagi, yang sering kali dianggap tak relevan, tapi justru paling tahan banting.

Foto ini bukan selfie biasa. Dibalik ekspresi serius di depan kamera, ada cerita panjang tentang hubungan antara penyuluh dengan petani. Tentang kehadiran yang tidak selalu tercatat di SKP. Tentang proses yang tidak selalu dibayar tunai, tetapi dibayar dengan kepercayaan dan kehangatan dalam secangkir kopi hangat di gubuk.

Dan kalau pun tidak ada yang memberi penghargaan, tidak ada masalah.

Karena di lahan seperti ini, akal dan balung masih kompak menyiram harapan — dan itu cukup membuat hidup terasa lebih indah dan bermakna.

___________________

Gowong, Bruno, 17 Juli 2025

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penyuluh Tak Lagi Menyuluh: Ketika Agen Perubahan Terjebak Administrasi dan Bantuan

KOKAM Jadi Petani, Lalu JATAM Ngapain?

Apresiasi Tinggi untuk POPT: Melepas Predator di Ladang Tembakau Watuduwur