Tarif 0% untuk Produk AS: Ancaman Ketahanan Pangan

Tarif 0% untuk Produk AS: Ancaman Diam-Diam bagi Ketahanan Pangan Indonesia

(Opini)

Oleh : Sutoyo

___________________

Ketahanan pangan bukan semata soal produksi lokal, tetapi juga strategi perlindungan terhadap sistem pangan nasional dari gempuran produk dari luar. Dalam konteks ini, keputusan untuk memberikan tarif impor 0% kepada sejumlah produk pertanian dan peternakan dari Amerika Serikat patut dikritisi secara serius.

Menurut laporan Bisnis.com (2025), beberapa produk pertanian AS seperti daging sapi, buah-buahan, dan produk susu masuk ke pasar Indonesia tanpa beban tarif bea masuk. Artinya, produk-produk ini bisa bersaing langsung dengan produk lokal tanpa hambatan harga. Sementara petani dan peternak lokal kita masih berjibaku dengan biaya produksi yang tinggi, terbatasnya akses pasar, dan subsidi yang kian menyusut, produk luar justru mendapatkan karpet merah.

Perang Tarif yang Tak Disadari

Perang tarif bukan selalu tentang saling menaikkan pajak impor. Justru saat negara seperti Indonesia menurunkan tarif terlalu rendah—bahkan 0%—bagi negara raksasa ekonomi seperti AS, maka hal ini apa bedanya dengan membuka pagar rumah tanpa penjagaan. Indonesia seakan-akan menyerah sebelum bertanding.

Tarif 0% kepada produk-produk AS dapat dimaknai sebagai keputusan diplomatis demi imbal balik tertentu—misalnya akses ekspor produk lain atau barangkali tekanan geopolitik. Namun jika kebijakan ini tidak disertai dengan perlindungan yang sepadan untuk produk dalam negeri, maka hal ini adalah bentuk ketidakadilan secara struktural.

Ancaman terhadap Petani dan Peternak Lokal

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa konsumsi daging sapi nasional sebagian besar masih dipenuhi dari impor mencapai lebih dari 40%. Disaat yang sama peternak sapi lokal kesulitan untuk bersaing karena biaya pakan, vaksin, dan distribusi yang mahal. Berbeda dengan produk sapi beku dari AS yang lebih murah, lebih stabil pasokannya, dan dikemas menarik, mudah menguasai pasar ritel modern.

Hal yang sama terjadi pada buah-buahan impor seperti apel, jeruk, dan pir dari AS yang masuk nyaris tanpa hambatan. Padahal buah lokal seperti mangga, salak, dan pisang yang diproduksi petani kecil belum punya daya saing setara, karena minimnya dukungan logistik dan promosi.

Ketahanan Pangan yang Rentan

Ketahanan pangan nasional seharusnya bukan hanya soal pasokan yang tersedia di pasar, tetapi juga tentang siapa yang memproduksi dan menguasai rantai distribusi. Jika sebagian besar pangan didominasi oleh produk impor yang murah, maka dalam jangka panjang ketergantungan akan semakin membesar. Krisis global atau embargo politik bisa jadi menjadi senjata makan tuan.

Sebagai bahan perbandingan, India dan Tiongkok sangat protektif terhadap produk pangannya. Mereka sadar bahwa membiarkan impor membanjiri pasar domestik berarti mematikan fondasi ekonomi desa dan pertanian rakyat. Sebaliknya, Indonesia kerap kali menempatkan kebijakan tarif dalam posisi kompromi yang merugikan produsen dalam negeri.

Perlu Revisi dan Perlindungan Kuat

Pemerintah perlu mengevaluasi ulang kebijakan tarif 0% untuk produk pangan strategis. Jika memang harus dilakukan maka kompensasinya adalah pemberian subsidi, insentif, atau perlindungan serius untuk sektor pangan domestik.

 Misalnya:

  • Dana proteksi untuk peternak lokal menghadapi banjir daging impor

  • Investasi pada cold storage dan distribusi buah lokal agar bisa bersaing

  • Kampanye cinta produk lokal dengan pendekatan modern

Lebih jauh dari itu DPR dan kementerian terkait juga perlu memastikan bahwa kebijakan tentang perdagangan luar negeri jangan sampai mengorbankan ketahanan pangan jangka panjang demi kepentingan jangka pendek atau tekanan asing.

Jangan Tertipu Harga Murah

Harga murah produk impor sering kali dianggap berkah oleh konsumen. Tapi dalam konteks pangan harga murah bisa menyembunyikan kerugian besar yang tak kasatmata—petani bangkrut, desa kehilangan ekonomi, dan negara makin tergantung pada pasokan dari lluar.

Ketahanan pangan sejati hanya akan tercapai jika petani dan peternak lokal mendapat perlindungan yang nyata, bukan sekadar hanya jargon. Tarif 0% untuk produk pangan dari AS adalah tamparan bagi cita-cita swasembada yang sejak dulu kita gaungkan.

____________________

Sumber: Bisnis.com. "Indonesia Buka Keran Impor Produk Pertanian AS dengan Tarif 0%." Diakses Juli 2025. [https://search.app/bfzRS]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penyuluh Tak Lagi Menyuluh: Ketika Agen Perubahan Terjebak Administrasi dan Bantuan

KOKAM Jadi Petani, Lalu JATAM Ngapain?

Apresiasi Tinggi untuk POPT: Melepas Predator di Ladang Tembakau Watuduwur