KOKAM Jadi Petani, Lalu JATAM Ngapain?

Foto : MUHAMMADIYAH.OR.ID, SLEMAN

KOKAM Jadi Petani, Lalu JATAM Ngapain?

Refleksi Kritis atas Sinergi Muhammadiyah dan Polri dalam Program Ketahanan Pangan

Oleh : Sutoyo

____________________

Apel Akbar Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah (KOKAM) yang digelar di Stadion Tridadi, Sleman (Ahad, 20 Juli 2025) menjadi sorotan nasional. Selain dihadiri tokoh-tokoh penting seperti Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Menteri PMK Muhadjir Effendy, dan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, acara ini menjadi panggung pernyataan tekad KOKAM mendukung program ketahanan pangan nasional.

Dalam sambutannya, Kapolri mengapresiasi militansi KOKAM dan menyatakan bahwa Polri menggandeng KOKAM sebagai mitra strategis dalam program penanaman 1 juta hektar jagung. Sebagai langkah konkret, turut diteken nota kesepahaman (MoU) antara Polri dan PP Muhammadiyah untuk penanaman jagung di atas lahan seluas 10.000 hektar.

Sumber: muhammadiyah.or.id – “KOKAM dan Polri Sinergi Wujudkan Ketahanan Pangan Nasional” (diakses 21 Juli 2025)

Namun publik pun bertanya:

Bukankah Muhammadiyah telah memiliki JATAM (Jamaah Tani Muhammadiyah), organisasi yang memang fokus dan memiliki kompetensi di bidang pertanian? Kenapa bukan JATAM yang tampil sebagai mitra utama negara?

Ironis, ketika program ketahanan pangan justru tidak melibatkan elemen petani Muhammadiyah itu sendiri, malah justru digawangi oleh barisan militan yang selama ini dikenal lebih pada peran pengamanan, bukan produksi pertanian. Apakah ini bentuk apresiasi atau justru tanda bahwa logika seragam lebih laku daripada cangkul?

KOKAM memang memiliki sejarah panjang sebagai barisan militan yang setia pada Muhammadiyah dan bangsa. Kiprahnya dalam tanggap bencana, pengamanan aksi damai, hingga penjaga moral organisasi patut diapresiasi. Tapi ketika urusannya adalah produksi pangan—hal yang sangat teknis dan jangka panjang—apakah cukup hanya mengandalkan semangat dan barisan?

Sebaliknya, JATAM (Jamaah Tani Muhammadiyah) adalah wadah petani Muhammadiyah yang dibentuk untuk mengorganisasi, mendidik, dan memperkuat kemandirian pertanian di kalangan warga persyarikatan. Mereka terbiasa berkutat dengan cuaca yang tak menentu, pupuk yang mahal, harga panen yang fluktuatif, dan lahan yang makin sempit.

Maka muncul pertanyaan kritis: mengapa negara atau bahkan PP Muhammadiyah lebih dulu menggandeng KOKAM ketimbang JATAM dalam program sebesar ini?

Apakah ini soal siapa yang lebih gagah tampil di apel, atau siapa yang lebih paham tanah dan benih?

Kita harus waspada pada gejala "simbolisasi pangan nasional", di mana produksi pangan dijadikan bagian dari narasi besar yang lebih banyak bicara tentang barisan, pencitraan, atau politik seremonial. MoU 10.000 hektar jagung terdengar luar biasa, tetapi:

  • Di mana lokasi persis lahan itu?

  • Siapa yang akan menggarap?

  • Siapa yang mengawal hasil panennya?

  • Apakah petani lokal, khususnya dari jaringan JATAM dilibatkan sejak awal?

Kalau semua ini belum jelas, maka yang sedang dibangun bukan ketahanan pangan, tapi ketahanan panggung—panggung politik dan simbolik.

Sebagai organisasi modern dan besar, Muhammadiyah sepatutnya mengutamakan pendekatan berbasis kompetensi, bukan sekadar loyalitas simbolik. Dalam hal ini JATAM layak didorong sebagai mitra utama dalam urusan pangan, sedangkan KOKAM bisa tetap dilibatkan sebagai pendukung keamanan, logistik, atau bahkan pelatihan kedisiplinan di lapangan.

Muhammadiyah tidak kekurangan kader yang paham pangan. Yang sering kurang hanyalah kesempatan tampil dan dukungan struktur dari atas.

Jangan sampai ormas sebesar Muhammadiyah ikut arus tren "ketahanan pangan gaya apel barisan", sementara di lapangan, petani Muhammadiyah tetap menanam sendiri, memupuk sendiri, dan—ironisnya—menanggung sendiri saat gagal panen.

KOKAM memang militan dan menginspirasi. Tapi kalau soal pangan, kita butuh lebih dari sekadar barisan. Kita butuh petani. Dan Muhammadiyah punya mereka—di JATAM, di desa-desa, di tepian ladang.

Maka sekali lagi kita bertanya,
KOKAM Jadi Petani, Lalu JATAM Ngapain?

____________________

Purworejo, Selasa 22 Juli 2025

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penyuluh Tak Lagi Menyuluh: Ketika Agen Perubahan Terjebak Administrasi dan Bantuan

Apresiasi Tinggi untuk POPT: Melepas Predator di Ladang Tembakau Watuduwur