Ketahanan, Kemandirian, atau Kedaulatan? Saatnya Kita Tidak Salah Kaprah Lagi Soal Pangan

Ketahanan, Kemandirian, atau Kedaulatan? Saatnya Kita Tidak Salah Kaprah Lagi Soal Pangan

Oleh : Abuwaras

____________________

Ditengah gencarnya isu krisis pangan global kita sering disuguhi dengan narasi dari pemerintah soal keberhasilan menjaga ketahanan pangan. Mediapun turut menyorot soal stok beras yang aman, pangan yang tersedia, dan harga yang relatif stabil. Tapi pertanyaannya: benarkah kita sudah aman? Ataukah4 justru terlena dalam ilusi kenyang yang semu?

Salah satu akar masalahnya terletak pada kerancuan istilah. Banyak pihak — termasuk pengambil kebijakan — masih mencampuradukkan istilah ketahanan pangan, kemandirian pangan, dan kedaulatan pangan. Padahal, secara filosofi, arah kebijakan, dan dampaknya di lapangan, ketiganya berbeda jauh.

Ketahanan Pangan: Pangan Ada, Tapi Bisa Saja Petani Tak Berdaya

Menurut FAO (Food and Agriculture Organization), food security adalah kondisi di mana semua orang, setiap saat, memiliki akses fisik dan ekonomi terhadap makanan yang cukup, aman, dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan hidup aktif dan sehat (FAO, 2006).

Di Indonesia, definisi ini diadopsi dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, pasal 1 ayat 1.

Masalahnya, pendekatan ini tidak mempersoalkan asal pangan — mau dari produksi lokal atau impor — yang penting tersedia dan bisa dibeli.

Contoh: Saat beras lokal mahal, impor dijadikan solusi. Akibatnya, harga jatuh saat panen, dan petani merugi. Maka tak heran, banyak petani kini berpikir dua kali untuk menanam kembali.

Kemandirian Pangan: Produksi Sendiri, Tapi Masih Rentan Ketimpangan

UU Pangan 2012 juga menyebut soal kemandirian pangan, yakni kemampuan negara untuk memproduksi pangan secara mandiri.

Ini semacam jalan tengah antara ketahanan dan kedaulatan. Negara berupaya memproduksi pangan dari dalam negeri, tetapi tetap membuka keran impor bila perlu.

Namun, kemandirian belum tentu berpihak pada petani kecil. Produksi bisa saja dimonopoli oleh korporasi besar. Kedaulatan benih, pupuk, dan pasar tetap tidak dimiliki oleh petani.

Contoh yang bisa disebut di sini adalah program food estate yang banyak dikritik karena mengandalkan pendekatan korporatif dan skala besar, bukan pemberdayaan petani kecil.

Kedaulatan Pangan: Hak Rakyat untuk Menentukan Sistem Pangan Sendiri

Berbeda dari dua istilah sebelumnya, kedaulatan pangan adalah konsep yang muncul dari gerakan sosial petani global. La Via Campesina, jaringan organisasi petani dunia, merumuskan pada 1996 bahwa food sovereignty adalah:

“Hak rakyat untuk menentukan sistem pertanian dan pangan mereka sendiri, memprioritaskan produksi lokal, melindungi petani kecil, serta menolak dominasi pasar bebas dan korporasi dalam urusan pangan.”
(La Via Campesina, 2003)

Indonesia sebenarnya mengakui prinsip ini dalam UU Pangan 2012 Pasal 13–14. Tapi dalam praktiknya semangat kedaulatan pangan masih sangat lemah. Banyak kebijakan justru bertolak belakang: lahan petani terus menyempit, benih lokal tergantikan benih korporasi, dan impor terus membanjiri pasar.

Contoh Kegagapan: Kedelai, Jagung, Gula, dan Impor Tiada Henti

Kita bisa lihat situasi kedelai. Sejak 1990-an, produksi dalam negeri terus turun. Saat ini, lebih dari 80% kebutuhan kedelai nasional dipenuhi dari impor (BPS, 2023). Akibatnya:

  • Petani enggan menanam karena kalah saing dengan kedelai impor.

  • Industri tahu-tempe panik saat harga global melonjak.

  • Negara tak berdaya karena terlalu tergantung.

Begitu pula dengan jagung dan gula. Produksi nasional ada, tapi tetap digerus oleh impor murah dan permainan pasar.

Ketahanan Bisa Dicapai Lewat Impor, Tapi Itu Bukan Kedaulatan

Inilah yang perlu digarisbawahi:

Ketahanan pangan bisa tercapai lewat impor — tapi kedaulatan pangan menuntut kita memproduksi sendiri, adil, dan berpihak pada rakyat kecil.

Kita harus waspada: jangan sampai “ketahanan” hanya jadi kamuflase kebijakan impor jangka pendek yang melemahkan petani.

Menuju Sistem Pangan yang Berdaulat: Apa yang Harus Dilakukan?

Beberapa langkah penting menuju kedaulatan pangan:

  • Perlindungan lahan pertanian dari alih fungsi.

  • Penguatan benih lokal dan komunitas petani.

  • Dukungan pada koperasi dan BUMDes pangan.

  • Reforma agraria yang adil dan berpihak pada petani kecil.

  • Cadangan pangan berbasis desa, bukan hanya gudang nasional.

Semuanya butuh kemauan politik, bukan hanya wacana.

Jangan Salah Kaprah Lagi

Ketahanan pangan adalah kebutuhan minimal,
Kemandirian pangan adalah langkah menuju stabilitas,
Tapi kedaulatan pangan adalah cita-cita tertinggi bangsa yang berdaulat.

“Jika petani tidak dihormati, maka sejatinya bangsa sedang kehilangan akar. Jika pangan hanya soal harga dan stok, maka kita sedang membangun rumah di tanah orang.”
Catatan Abuwaras, Penyuluh dari Lembah Bruno

__________________ 

📚 Sumber Referensi:

  • FAO. (2006). Food Security Policy Brief.

  • UU RI No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan.

  • Badan Pusat Statistik (BPS), Statistik Kedelai Indonesia 2023.

  • La Via Campesina. (2003). What is Food Sovereignty?

  • Mongabay Indonesia (2021). “Food Estate Dinilai Tak Relevan dengan Kedaulatan Pangan.”

___________________

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penyuluh Tak Lagi Menyuluh: Ketika Agen Perubahan Terjebak Administrasi dan Bantuan

Apresiasi Tinggi untuk POPT: Melepas Predator di Ladang Tembakau Watuduwur

Sebuah Kisah Satir Abuwaras