Sebuah Kisah Satir Abuwaras

Tanaman yang Diberi Infus, Lalu Dituduh Malas Menghisap

(Sebuah Kisah Satir ala Abuwaras tentang Pertanian Modern)

Oleh : Sutoyo

___________________

👑 Negeri dengan Tanah Subur yang Mulai Layu

Disebuah negeri yang dulu terkenal dengan tanahnya yang subur, rakyat bisa menanam apa saja. Saking suburnya senimanpun sampai menggubah lagu yang menggambarkan tanah syurga : Tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Tanpa pupuk pun hasilnya melimpah. Tanpa pestisida pun hama tak berani menggoda.

Namun seiring dengan perubahan zaman, datanglah utusan dari kerajaan sebelah:

“Wahai paduka Raja Yang Mulia, tanah Paduka akan jauh lebih hebat bila diberikan pupuk kimia! Ini pupuk luar biasa, sekali tabur langsung hijau. Tanpa ini, Paduka akan ketinggalan zaman!”

Kemudian sang Raja pun tergoda oleh bujuk rayunya. Dan lahan-lahan rakyatpun kemudian disemprot, ditaburi, disuntik dengan pupuk modern. Memang daunnya tampak cepat sekali berubah menjadi hijau. Hasilnyapun juga melimpah diawal. Akan tetapi yang terjadi setelah beberapa tahun setelahnya...

Tanah-tanah berubah mulai mengeras. Akarpun tak mampu tumbuh memanjang. Daun-daun mulai menguning sebelum waktunya. Kini petanipun  mulai resah.

🤷‍♂️ Rapat Besar dan Masalah Infus Tanaman

Peristiwa itu pun kemudian menjadi berita besar hingga sampai ke Istana sang Raja. Lalu pihak istana meresponnya dengan menggelar rapat akbar. Didalam rapat akbar istana tersebut agendanya membahas khusus permasalahan pertanian. Dan para penasihat istana berdiskusi sangat serius.

“Paduka, tanaman kita mungkin kurang pupuk!”
“Atau mungkin kelebihan!”
“Atau mungkin... tanamannya malas menyerap?”

Raja semakin bingung masa iya tanaman bisa malas kaya manusia  ? Ada-ada saja. Mana mungkin! gumam sang Raja. Akhirnya rapat akbarpun tidak menghasilkan jalan keluar yangnmencerahkan.

Seperti biasa ketika kerajaan dalam keadaan genting lalu datanglah Abuwaras, tanpa diundang tetapi selalu muncul dengan membawa segudang jawaban.

Dengan tenang ia berkata,

“Tanaman-tanaman Paduka itu bukan malas. Mereka menjadi begitu karena sudah terbiasa diberikan infus.”

Semua penasihat tambah bingung dengan pendapat nyleneh dari Abuwaras

“Infus?,.... Maksudmu pupuk?”
“Tepat sekali,” jawab Abuwaras.
“Kalian menyiram pupuk seperti orang menyuntik vitamin ke pasien. Daunnya tampak segar, tapi akarnya tak pernah diajari mencari makan.”

🐛 Kotoran, Cacing, dan Kemarahan Para Pejabat

Keesokan harinya Abuwaras datang kembali ke istana sambil membawa sekarung kompos, seember kotoran kambing, dan beberapa ekor cacing tanah.

“Apa-apaan ini?” teriak pengawal kerajaan.
“Kau telah lancang benda bau busuk dibawa masuk ke istana!”

Abuwaras hanya tersenyum,

“Justru ini sesungguhnya makanan sejati untuk tanah kalian yang lapar."

Seorang penasihat pun membantah,

“Tapi pupuk modern kami sudah diuji ilmiah dan disertifikasi!"
“Hebat," kata Abuwaras, "tapi sayangnya, tanah tak bisa membaca sertifikat. Ia hanya tahu, apakah ia diberi makan atau disuruh kerja rodi.”

🌱 Tanah yang Sakit atau Pikiran yang Sakit?

Seorang petani tua maju ke depan, sambil menangis haru,

“Dulu saya tak kenal pupuk kimia. Sawah saya ramai oleh cacing, lembut tanahnya. Sekarang, setelah pupuk datang tiap bulan, tapi malah hasilnya tak seperti dulu lagi.”

Abuwaras pun  mengangguk,

“Yang sakit bukan hanya tanahnya, tapi cara berpikir kita. Kita ingin hasil yang cepat dan banyak tetapi tidak peduli yang akan kita tinggalkan adalah tanah mati.”

👑Akhir yang Tak Terlalu Lucu, Tapi Penuh Harapan

Melihat kejadian itu semua, kemudian sang Raja  termenung.

“Jadi, apa yang harus kami lakukan, Abuwaras?”

Abuwaras lalu berdiri, membuka karung kompos dan memperlihatkan cacing yang menggeliat di dalamnya sambil berkata.

“Kembalilah ke awal. Kembalilah mendengarkan tanah. Biarkan ia bernapas, makan, dan hidup. Jangan beri dia infus terus-menerus, karena suatu saat tanah itu akan berkata: ‘Aku sudah cukup disiksa.’”

Sejak peristiwa dihari itu, satu petak istana dicoba dikelola dengan pupuk alami, tanpa kimia. Tahun pertama hasilnya belum menakjubkan. Tapi tahun kedua, tanah itu hidup kembali. Cacing datang. Jamur tumbuh. Hasilnya mulai kembali seperti dulu.

Dan setiap kali Raja melihat cacing menggeliat di tanahnya, ia tersenyum kecil sambil bergumam:

“Ternyata, yang harus diberi infus itu bukan tanah... tapi pikiran kita yang terlalu serakah.”

✍️ Catatan Akhir

Begitulah cerita Abuwaras kali ini. Lucu? Tidak juga. Tetapi menohok? Semoga iya.
Karena seperti kata Abuwaras:

“Ilmu bisa disuntikkan. Tapi kesadaran harus ditanamkan.”

____________________ 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penyuluh Tak Lagi Menyuluh: Ketika Agen Perubahan Terjebak Administrasi dan Bantuan

Apresiasi Tinggi untuk POPT: Melepas Predator di Ladang Tembakau Watuduwur