Aglomerasi Pertanian: Ketika Peta Komoditas Bertemu dengan Peta Kearifan

                                                                               Ilustrasi

Aglomerasi Pertanian: Ketika Peta Komoditas Bertemu dengan Peta Kearifan

Oleh: Sutoyo
Blog StoryLab Sutoyo | 2025


“Aglomerasi” barangkali terdengar seperti istilah yang lebih cocok digunakan untuk dunia industri, startup, atau kota metropolitan. Tetapi siapa yang menyangka bahwa konsep ini kini sebenarnya sudah  masuk kedalam sektor pertanian. Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan (BP Taskin) bahkan telah membagi wilayah-wilayah di Jawa Barat dan Jawa Tengah berdasarkan sektor unggulan dalam skema aglomerasi sektoral. (Indramayu, Jawa Barat, Senin (21/7/2025). ANTARA/Fathnur Rohman).

Indramayu, Cirebon, dan Brebes difokuskan ke sektor pangan, Kuningan ke energi baru terbarukan, dan Kota Cirebon ke industri digital. Tujuannya baik: mendorong efektivitas, kerja sama lintas daerah, dan percepatan pengentasan kemiskinan.

Namun muncul satu pertanyaan mendasar:
Apakah aglomerasi dapat berjalan dalam dunia pertanian tanpa meninggalkan akar kearifan lokal petani?

🌾 Aglomerasi dalam Pertanian: Bukan Hal Baru, Hanya Belum Dinamai

Kalau kita mau jujur, petani Indonesia sejak lama sudah menerapkan prinsip aglomerasi—walaupun tidak menyebutnya demikian.

Coba perhatikan baik-baik:

  • Temanggung – Wonosobo – Magelang, saling terhubung dalam ekosistem pertanian tembakau rakyat.

  • Sleman dan sekitarnya punya kawasan salak pondoh yang bukan cuma budidaya, tapi juga wisata, pengolahan, dan edukasi.

  • Di lereng Merapi, kopi ditanam bukan hanya karena menguntungkan, tapi juga karena “ngrawat alas” adalah bagian dari iman ekologis masyarakat.

Ini adalah bentuk aglomerasi organik—tumbuh dari bawah, tidak ditentukan oleh kementerian atau proyek-proyek.

🌍 Filosofi Aglomerasi: Kode Semesta untuk Saling Membutuhkan

Jika ditelaah lebih mendalam, aglomerasi pertanian bukan sekadar strategi ekonomi. Ia adalah kode semesta, pesan alam bahwa setiap tempat, setiap wilayah, dan setiap desa memiliki keunikan dan takdirnya masing-masing.

Satu desa diberikan tanah yang subur, yang lain diberi air yang melimpah. Ada yang mahir bercocok bertanam, ada yang ahli mengolah. Ternyata di dunia ini tidak ada yang sempurna sendiri. Maka agar kehidupan dapat berjalan, manusia dituntun untuk saling bekerja sama, saling silaturahmi, dan saling membutuhkan.

Ini sejalan dengan firman Tuhan dalam Al-Qur’an,
"Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal (ta’aruf)."
(QS Al-Hujurat: 13)

Jadi ketika satu daerah fokus dibidang pangan, satu dibidang energi, dan satu dibidang industri kreatif—itu bukan berarti pemisahan, namun penyatuan fungsi dalam perbedaan.

📍 Kalau Mau Mengadopsi Aglomerasi, Jangan Lupakan Peta Kearifan

Aglomerasi memang menjanjikan efisiensi dan daya saing. Tetapi kalau pendekatan ini hanya berdasarkan data statistik, grafik PDRB, dan potensi pasar, lalu mengabaikan nilai-nilai hidup petani, maka kita sedang membangun menara gading ekonomi di atas tanah yang retak secara sosial.

Peta komoditas harus berdampingan dengan peta kearifan.
Petani tidak bisa hanya diatur menjadi "penghasil beras" atau "pengolah singkong" tanpa memahami ritme tanah dan irama budaya mereka sendiri.

Contohnya:

  • Sistem tandur bareng bukan sekadar tanam massal, tetapi ini momen sosial-kultural yang menyatukan warga.

  • Lumbung desa bukan hanya gudang, tetapi simbol kehormatan dan solidaritas pangan.

🤝 Dari Peta ke Praktik: Strategi Aglomerasi Pertanian Berbasis Kearifan

Agar aglomerasi pertanian tidak menjadi proyek peta saja, ada beberapa strategi yang dapat  dilakukan diantaranya :

  1. Pemetaan potensi berbasis warga, bukan hanya data BPS.
    Melibatkan petani, tokoh adat, kelompok perempuan, dan pemuda tani.

  2. Klasterisasi yang fleksibel.
    Membiarkan kesempatan kepada desa memilih perannya: produksi, pengolahan, wisata, edukasi. Bukan dipaksa semua menjadi “sentra pangan.”

  3. Hidupkan kelembagaan lokal.
    Merevitalisasi koperasi tani, lumbung pangan, dan arisan hasil.

  4. Digitalisasi yang membumi.
    Menggunakan teknologi untuk memperkuat jaringan pasar, tanpa mematikan relasi sosial antarpetani.

  5. Pendampingan lintas generasi.
    Melibatkan anak muda dalam proses produksi dan inovasi, bukan hanya sebagai "tenaga kerja murah."

🔎 Belajar dari Wilayah Lain: Bukti Bahwa itu Bisa

Di kawasan Gerbangkertosusila (Jawa Timur) dan Bandung Raya, bentuk aglomerasi pertanian sudah berlangsung: ada desa yang fokus produksi, desa lain fokus distribusi, dan kota yang menjadi pasar dan inovasi. Dan semua saling terkoneksi.

Tetapi yang membuatnya hidup bukan hanya proyek besar, melainkan karena masyarakatnya terlibat, nilainya dijaga, dan kebijaksanaan lokal tetap mejadi kompas.

✍️ Membangun Aglomerasi, Tapi Jangan Lupakan Rasa

Pembangunan yang baik bukan hanya soal pertumbuhan, tapi juga keseimbangan dan kebermaknaan.
Aglomerasi bisa membawa kesejahteraan jika dijalankan sebagai bentuk kerja sama yang adil, partisipatif, dan menghormati kebijaksanaan lokal.

“Sawah bisa dikelompokkan,
tapi jangan melupakan nilai yang mengelompokkan:
gotong royong, kesederhanaan, dan merasa cukup.”

Kalau memang pemerintah ingin mengentaskan kemiskinan melalui aglomerasi, maka jangan hanya bicara sektor unggulan dan peta produksi. Bicaralah juga dengan ibu-ibu penanak nasi di lumbung desa, kakek tua penjaga benih, dan pemuda desa yang mengunggah hasil panen ke Instagram.

Mereka bukan hanya pelaku.
Merekalah penjaga makna.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penyuluh Tak Lagi Menyuluh: Ketika Agen Perubahan Terjebak Administrasi dan Bantuan

KOKAM Jadi Petani, Lalu JATAM Ngapain?

Apresiasi Tinggi untuk POPT: Melepas Predator di Ladang Tembakau Watuduwur