Pupuk Bersubsidi: Benih Murah yang Menumbuhkan Hama Mahal

 

Pupuk Bersubsidi: Benih Murah yang Menumbuhkan Hama Mahal

Kebijakan pupuk bersubsidi telah lama menjadi andalan pemerintah Indonesia untuk mendukung ketahanan pangan dan membantu petani kecil. Di atas kertas subsidi pupuk terdengar seperti solusi murah-meriah untuk meningkatkan produksi. Namun dibalik harga yang murah tersembunyi harga mahal yang harus dibayar dalam bentuk ledakan hama, penyakit tanaman, dan kerusakan ekosistem tanah. Sebuah ironi: benih murah yang justru menumbuhkan hama mahal.

Ketimpangan Pemupukan: Akibat Sistem Subsidi yang Tidak Seimbang

Sejak awal pupuk yang disubsidi pemerintah didominasi oleh Urea dan NPK. Dua jenis pupuk ini memang vital, tetapi apabila digunakan tanpa kombinasi pupuk organik dan unsur mikro lainnya, dampaknya bisa merusak. Penelitian oleh Balai Penelitian Tanah (2020), menunjukkan bahwa sekitar 73% petani tidak melakukan pemupukan berimbang. Mereka hanya menggunakan jenis pupuk yang tersedia dalam program subsidi, bukan berdasarkan pada kebutuhan aktual tanah dan tanaman.

Hasilnya tanaman menjadi "super subur" secara visual namun lemah dalam struktur. Daun-daun menjadi empuk, kadar nitrogen meningkat, dan ini menjadi santapan lezat bagi hama seperti wereng, ulat grayak, dan penggerek batang.

Ketika Tanah Mati, Hama Bersorak

Tanah yang terus-menerus diberi pupuk kimia akan kehilangan keseimbangan hayatinya. Mikroba-mikroba baik yang seharusnya melawan penyakit dan menyehatkan akar menjadi punah. Laporan Puslitbangtan (2021) mencatat bahwa sekitar 42% lahan sawah di Jawa telah kehilangan sebagian besar populasi mikrobanya akibat pemupukan kimia berulang tanpa tambahan bahan organik. Tanah-tanah ini menjadi "mati secara biologis", sehingga hama dan penyakit leluasa berkembang.

Monokultur dan Siklus Tanaman yang Tak Pernah Usai

Sistem subsidi pupuk juga mendorong petani untuk terus menanam komoditas yang disubsidi, seperti padi dan jagung. Ini menyebabkan praktik monokultur berkepanjangan. Studi BBSDLP (2020) menunjukkan bahwa sawah yang ditanami padi tiga musim berturut-turut di Grobogan mengalami ledakan wereng hingga tiga kali lipat dibanding lahan yang melakukan rotasi dengan palawija. Monokultur menciptakan surga bagi hama yang siklus hidupnya tak pernah putus.

Pestisida: Solusi Instan yang Memupuk Resistensi

Saat hama menyerang jalan pintas yang diambil adalah menyemprot pestisida. Namun ini adalah solusi sesaat yang justru memperparah masalah. Penelitian oleh Balai Proteksi Tanaman Pangan (2021) mencatat bahwa populasi wereng di Subang dan Lamongan sudah menunjukkan resistensi terhadap insektisida seperti imidakloprid dan buprofezin. Hama menjadi kebal, dosis meningkat, dan biaya produksi melonjak.

Alam sebagai Pengendali yang Terpinggirkan

Dalam pertanian ramah lingkungan peran alam sebagai pengendali hama sangat besar. Sayangnya, pendekatan ini belum menjadi arus utama. Studi di Kulon Progo (2020) menunjukkan bahwa sawah yang dikelola secara organik dan memakai kompos serta biofungisida lokal hanya mengalami serangan penyakit sebesar 22%, dibanding 65% di lahan konvensional. Namun sistem subsidi saat ini belum mendukung praktik-praktik ekologis seperti itu.

Murah di Awal, Mahal di Akhir

Subsidi pupuk tampaknya menjadi solusi populis yang tidak diikuti dengan perombakan sistemik dalam pertanian. Akibatnya petani terus terjebak dalam siklus pupuk-hama-pestisida yang tak berujung. Murah diawal, namun akan mahal diakhir.

Rekomendasi:

  1. Diversifikasi jenis pupuk bersubsidi, termasuk pupuk organik dan hayati.

  2. Edukasi petani tentang pemupukan berimbang dan pertanian berbasis ekologi.

  3. Integrasi rotasi tanaman dalam sistem perencanaan tanam nasional.

  4. Monitoring dampak subsidi pupuk terhadap ekosistem secara berkala.

Sudah saatnya kebijakan pupuk tidak hanya berbicara tentang produksi, tetapi juga tentang keberlanjutan dan kesehatan agroekosistem. Jika tidak subsidi hari ini bisa menjadi bom waktu bagi pertanian esok hari.....Wallohualam bishowab

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penyuluh Tak Lagi Menyuluh: Ketika Agen Perubahan Terjebak Administrasi dan Bantuan

KOKAM Jadi Petani, Lalu JATAM Ngapain?

Apresiasi Tinggi untuk POPT: Melepas Predator di Ladang Tembakau Watuduwur