Kemarau Basah Mungkinkah Cara Alam “Memaksa” Sistem Agribisnis Kembali ke Sistem Agrikultur
Kemarau Basah Mungkinkah Cara Alam “Memaksa” Sistem Agribisnis Kembali ke Sistem Agrikultur
Oleh: StoryLab Sutoyo
Fenomena kemarau basah kembali terjadi. Hujan yang tak kunjung reda dibulan-bulan yang seharusnya kering membuat para petani kelimpungan. Padi rebah menjelang panen, bawang dan cabai membusuk, sementara pupuk kimia yang larut bersama air hanya menambah beban biaya produksi. Dibalik kekacauan musim seperti ini seolah ada pesan yang tak kasatmata tetapi terasa begitu kuat: alam sedang memaksa manusia untuk sadar, bahkan mungkin untuk kembali pulang.
Pulang ke mana? Pulang ke sistem agrikultur, bukan sistem agribisnis rakus yang memeras lahan, air, dan petani demi keuntungan semata.
Agribisnis: Antara Janji dan Jerat
Dulu agribisnis datang dengan janji: panen lebih cepat, hasil melimpah, pasar terbuka lebar. Tetapi kenyataannya, sistem ini memaksa pertanian untuk bekerja seperti layaknya pabrik, dengan benih hibrida, pupuk sintetis, pestisida sistemik, dan jadwal tanam yang seragam. Sawah-sawah dipaksa menanam satu jenis komoditas demi kuota nasional atau permintaan pasar ekspor. Sistem ini menjadikan petani sebagai pelaksana teknis, bukan pengelola alam.
Namun, sistem ini ternyata terbukti sangat rapuh. Begitu musim berubah sedikit, hasil panen rontok. Begitu pupuk langka atau mahal, petani bingung. Begitu hujan datang bukan pada waktunya—seperti dalam kasus kemarau basah—maka seluruh "pabrik pertanian" itu pun runtuh.
Ketika Langit Tak Lagi Ramah pada Agribisnis
Kemarau basah adalah anomali yang seharusnya tidak mengejutkan jika kita membaca alam dengan bijak. Namun dalam sistem agribisnis, kalender tanam ditentukan bukan oleh tanda-tanda alam, melainkan oleh jadwal proyek dan target produksi. Petani dipaksa menanam diluar naluri dan kearifan lokalnya.
Apa yang terjadi?
-
Padi rebah dan membusuk menjelang panen.
-
Cabai dan tomat rusak, karena kelembapan tinggi memicu jamur.
-
Kedelai gagal tumbuh, karena air terlalu berlimpah.
-
Hama dan penyakit meledak, karena ekosistem alami yang rusak tak mampu mengendalikan populasi.
Sesungguhnya alam tidak marah. Ia hanya tidak mau lagi diajak kompromi dengan sistem yang mengeksploitasi tanpa mengindahkan batas.
Agrikultur: Jalan Pulang yang Dilupakan
Sebelum kita diperbudak oleh benih paket dan pupuk subsidi, petani-petani kita hidup berdampingan dengan alam. Mereka menanam berdasarkan pranata mangsa, menyesuaikan dengan angin, kelembapan, posisi bintang, dan perubahan tanah.
Mereka menanam:
-
Beragam jenis pangan, bukan hanya padi: jagung, talas, gadung, ganyong.
-
Tumpangsari dan rotasi tanaman, bukan monokultur.
-
Membuat pupuk dari kotoran ternak dan kompos, bukan membeli setiap musim.
-
Dan yang terpenting: mereka tidak mengeksploitasi tanah, melainkan merawatnya.
Sistem ini bukan berarti kuno. Justru lebih adaptif terhadap perubahan iklim. Karena mereka tidak memaksa tanah memberi lebih dari yang ia mampu. Tidak memaksakan musim panen ketika langit tak mengizinkan.
Alam Bukan Musuh, Tetapi Cermin
Mungkin kita terlalu lama memperlakukan alam sebagai objek produksi, sebagai ladang bisnis, bukan sebagai mitra kehidupan. Kita terlalu lama percaya bahwa teknologi dan pasar bisa mengatur segalanya. Padahal alam punya cara sendiri untuk menyeimbangkan dirinya. Dan kini ia bersuara, melalui musim yang membingungkan, melalui hasil panen yang tak menentu.
Kemarau basah bukanlah musibah, tetapi sebuah cermin. Ia menunjukkan betapa rapuhnya sistem pangan yang dibangun hanya demi efisiensi dan keuntungan. Saat alam mulai "melawan", hanya sistem yang berakar pada kearifan, adaptasi, dan rasa cukup yang mampu bertahan.
Pulanglah, Sebelum Alam Memaksa Lebih Keras
Kita tidak sedang diminta kembali ke zaman lampau, tetapi ke nilai-nilai luhur yang ditinggalkan: harmoni dengan alam, kesederhanaan dalam produksi, keberagaman dalam pangan, dan keadilan dalam distribusi. Agrikultur bukan nostalgia. Ia adalah masa depan jika kita ingin bertahan.
Sebab jika manusia terus memaksa, maka alam akan lebih keras lagi memaksa balik.
Wallohualam bishowab
____________________
Komentar
Posting Komentar