Swasembada Tanpa Senyum Petani
Swasembada Tanpa Senyum Petani
(Refleksi Seorang Penyuluh Pertanian)
Oleh: Sutoyo
___________
Bruno, 12 November 2025-__ Ketika pemerintah mengumumkan keberhasilan swasembada beras hati saya sebagai penyuluh pertanian seharusnya ikut bangga. Tetapi entah kenapa rasa bangga itu justru datang bersama dengan rasa malu yang diam-diam menusuk kalbu. Malu kepada para petani yang sejak lepas subuh sudah berlumuran lumpur, tetapi belum juga bisa menikmati hasil dari keringatnya secara layak.
Saya sering berdiri di tepi sawah menyaksikan petani tersenyum tipis saat panen raya tiba. Tetapi saya tahu senyum itu lebih karena kelegaan berhasil panen, bukan karena hidupnya menjadi lebih sejahtera.
Harga-harga hasil panenan yang tidak stabil, biaya produksi yang terus naik, dan ketergantungan pada pupuk bersubsidi membuat keuntungan mereka semakin menipis dan terkadang hanya sekedar untuk bertahan hidup, bukan untuk berkembang.
Bagaimana tidak malu wong menurut Badan Pusat Statistik (BPS, 2024), rata-rata upah buruh tani di Indonesia berkisar Rp 61.000 per hari, sementara pekerja sektor industri manufaktur bisa mencapai Rp 120.000–150.000 per hari. Selisih yang cukup besar ini menggambarkan jurang kesejahteraan yang belum tertutupi, bahkan ditengah kabar gembira swasembada. Lebih ironisnya lagi, petani yang menjadi ujung tombak kedaulatan pangan nasional justru masih berjuang melawan kemiskinan struktural.
Sebagai seorang penyuluh tentu saya sering mendengar keluh kesah mereka tentang harga komodti pertanian yang anjlok, biaya sewa lahan yang naik, dan anak-anak yang enggan meneruskan profesi orang tuanya. Mereka bilang, “Ngopeni sawah saiki mung ngopeni lemes, Pak. Ora iso nyekolahke anak, ora iso ngurus omah.” (Mengurus sawah sekarang cuma bikin lemas, Pak. Tidak bisa untuk menyekolahkan anak, tidak bisa memperbaiki rumah).
Kalimat seperti itulah yang menampar keras nurani saya. Apa artinya swasembada kalau yang menanamnya tak ikut kenyang? Apa gunanya surplus beras kalau petani masih menghitung receh untuk beli minyak goreng di warung?
Saya malu....Malu karena saya bagian dari sistem yang belum mampu membuat petani tersenyum. Malu karena dirapat-rapat kami sering lebih sibuk membahas target produksi, bukan kesejahteraan. Malu karena berita keberhasilan di media tak selalu sejalan dengan kenyataan di sawah.
Saya takut suatu hari nanti alam semesta ikut “malu” bersama kita. Karena hukum alam selalu akan menyeimbangkan yang timpang dengan caranya. Jika petani terus menanam tanpa bahagia, siapa yang menjamin mereka akan tetap menanam ditahun-tahun berikutnya? Jika tanah terus dipaksa tanpa dirawat, bukankah alam akan menagih dengan caranya sendiri semisal gagal panen, serangan OPT yang masif, banjir, kekeringan atau bahkan bencana yang lain ?
Memang swasembada pangan adalah capaian yang penting, tetapi bukan merupakan akhir dari perjuangan. Ia seharusnya menjadi tonggak awal dari sebuah keadilan pangan, dimana petani tidak hanya menjadi penghasil pangan, tetapi juga penikmat kesejahteraan.
Mungkin sudah saatnya kita semua, para penyuluh, berhenti sebentar dari rutinitas laporan dan target angka. Mari belajar lagi menatap wajah petani, mendengarkan kisahnya tanpa tergesa. Karena dibalik tangan mereka yang tebal oleh kapalan, tersimpan martabat bangsa. Dan ketika suatu hari petani dapat tersenyum tulus disaat panen, barulah saya yakin: swasembada itu sungguh telah sempurna.
____________

Komentar
Posting Komentar