Magnet Kerinduan di Watuduwur: Sebuah Pertemuan Tak Terduga dengan Pak Dhani Harun
Magnet Kerinduan di Watuduwur: Sebuah Pertemuan Tak Terduga dengan Pak Dhani Harun
Oleh : Sutoyo
__________________
Hari itu Rabu Pon, 6 Agustus 2025 —sebuah hari yang biasa bagi kebanyakan orang, tetapi menjadi hari penuh makna bagi saya dan mungkin bagi siapa pun yang sempat hadir disebuah perhelatan besar di Desa Watuduwur, Kecamatan Bruno, Kabupaten Purworejo. Watuduwur bukanlah desa yang mudah dijangkau. Terletak diketinggian sekitar 650 meter diatas permukaan laut, jalan menuju ke sana tak pernah ramah. Kemiringan jalan yang ekstrem seolah menguji niat setiap tamu yang hendak datang: apakah sungguh-sungguh atau hanya sekadar formalitas.
Sejak awal saya tak berniat untuk pergi kesana. Kendaraan yang belum genap dua bulan turun mesin jelas bukan partner ideal untuk menaklukkan tanjakan-tanjakan terjal itu. Sudah bisa ditebak, perjalanan ke sana hampir selalu berujung pegal-pegal disekujur badan. “Mending absen saja,” batin saya. Namun pagi itu sang koordinator tak kenal lelah membujuk. Ia bahkan menawarkan diri memboncengkan. Entah kenapa juga saya pun akhirnya mengangguk. Tidak ada alasan logis, tidak ada perasaan terpaksa—semuanya mengalir begitu saja.
Perjalanan pun dimulai. Jalanan tetap kejam, namun ada yang berbeda. Langkah ini terasa ringan, seolah beban berat perjalanan semuanya sudah ditanggung oleh semesta. Sesampainya di lokasi, matahari masih belum terlalu tinggi, udara dingin khas pegunungan menggigit kulit. Acara pun belum dimulai, kami memanfaatkan waktu dengan ngobrol ringan sambil menyeruput kopi panas—sebuah ritual sederhana untuk mengusir rasa dingin.
Tiba-tiba, seseorang datang memanggil, “Pak dicari Pak Dhani Harun tuh.” Seketika otak ini berputar cepat. “Masya Allah...” Saya pun tertegun. Inikah sebabnya langkah kaki ini terasa begitu ringan sejak pagi? Inikah alasan dibalik rayuan koordinator yang terasa begitu persuasif? Tiba-tiba semua pertanyaan menemukan jawaban: Saya tidak sedang menuju acara, saya sedang dipanggil oleh kerinduan.
Pak Dhani Harun—sosok yang selama ini mungkin hanya hadir dalam kenangan, dalam percakapan sambil lalu, dan dalam harapan untuk bisa bersua kembali tiba-tiba hadir nyata dihadapan saya. Jelas ini bukan suatu kebetulan, saya yakin itu. Semesta sedang bekerja dalam senyap, menyusun pertemuan ini dengan sangat halus. Barangkali beginilah cara alam semesta menunjukkan bahwa ikatan persaudaraan itu memiliki magnetnya sendiri—sebuah daya tarik yang tak terlihat namun mampu menuntun langkah, menembus tanjakan curam, bahkan menyingkirkan segala alasan logis.
Sebuah pertemuan yang hangat, penuh dengan kejutan, dan tak ternilai. Tidak ada panggung, tidak ada sorotan kamera, namun ada getaran yang begitu kuat dan dalam: rasa syukur karena rindu telah menemukan muaranya.
Sehat selalu, Pak Dhani Harun. Terima kasih telah menjadi alasan indah dibalik perjalanan tak terencana ini. Ditengah ketinggian desa Watuduwur yang dingin, pertemuan ini menghangatkan hati. Dan saya pun pulang dengan rasa: segala sesuatu memang telah ditulis, tugas kita hanya berjalan mengikuti panggilan itu, tanpa banyak bertanya.
___________________

Komentar
Posting Komentar