Pelajaran Hari ini

 


Pelajaran Hari ini
Sinau Urip dari Mbah Slamet

Oleh : Sutoyo
_____________
Bruno, 17 November 2025__ Matahari pagi mulai naik bersama dengan turunnya kabut di tepi Kali Gowong. Dibawah sana terdengar sayup-sayup suara gemericik air kali layaknya orang yang sedang berzikir pelan.

Tampak seorang lelaki sepuh tengah duduk sambil membelah bambu sepertinya sedang membuat pagar atau ajir untuk tanaman. Dengan memakai kopiah putih, kaos tipis, celana yang lusuh, namun sorot matanya jernih, sejernih air sungai yang mengalir di bawah sana. Itulah Mbah Slamet lelaki yang yang rambutnya sudah memutih namun semangatnya tetap hijau seperti daun kopi di ladang miliknya.

Ia bukanlah warga desa Gowong. Ia adalah warga desa Kaliwungu. Namun entah bagaimana tanah Gowong seperti memanggilnya sejak usia masih muda. Suatu hari ia datang lalu tak pernah benar-benar pergi. Tanah-tanah itu seperti menahan langkahnya, dan ia pun menanam hidupnya di sini.

Kini diusianya yang tak lagi muda ia mengolah empat lokasi lahan miliknya. Tanah itu tidak dibeli dalam sekejap, tidak juga dari rezeki besar yang datang tiba-tiba. Semuanya berangkat dari sebuah langkah kecil—pelan tapi konsisten. Dan di tanah itulah tumbuh kopi, kelapa, pisang, durian, dan segala macam tanaman khas pegunungan yang ia pelihara dengan cinta.

Mungkin orang lain menyebut itu adalah rezeki besar. Tetapi tidak bagi Mbah Slamet sambil melempar senyumnya.
“Rezeki kuwi mung mampir nang wong sing gelem obah,” katanya pelan. “Gelem obah, mesti mamah.”

Sebuah filosofi Jawa yang sederhana namun sangat dalam dan penuh dengan makna Baginya gerak adalah do'a. Keringat adalah syukur. Dan bekerja bukan sekadar urusan ekonomi melainkan sebuah kebutuhan jiwa. Karena itulah meski tubuhnya yang tak lagi muda ia tetap turun ke ladang.

“Le, awak iki yen ora digerakne, yo malah cepet rusak dhewe,” ucapnya disela-sela obrolan. “Keringet sing netes kuwi olah raga, tanduran kuwi hiburan. Sing penting awakku ora nganggur lan ora dadi bebane anak-anak.” Ia tak ingin dihari tuanya menjadi beban siapa pun, bahkan dengan keluarganya sendiri.

Meski hidupnya banyak di ladang Mbah Slamet punya wejangan yang selalu ia sampaikan kepada anak-anaknya—sederhana tetapi seperti menancap dalam lubuk hati yang terdalam.
“Nek wis niat omah-omah,” katanya, “kudu siap karo sak kabèhe risiko. Seneng yo bareng, susah yo kudu bareng. Ojo pisan-pisan nganti pisah.”

Ia berhenti sebentar dan menghela nafas sambil memandangi aliran sungai. Lalu kemudian menambahkan kata-katanya perlahan: "Syetan kuwi pinter, le. Ora tau kentekan akal. Jaman biyen godhaane mung bisik-bisik. Ning Jaman saiki? Syetan nduwé WiFi…”

Ia terkekeh, tapi sorot matanya serius.
“Fitnah saiki cepet, dusta luwih cepet meneh. Dadi ojo gampang percoyo karo sing nongol ning layar. Ojo seneng golek hiburan sing nggawe wong omah-omah dadi retak. Urip bebrayan kuwi kudu dijogo, ora mung cukup diomongke thok.”

Itulah caranya menanam nilai-nilai kehidupan kepada anak-anaknya—tenang, sederhana, tanpa ceramah yang panjang-panjang.

Ada sisi menarik dan aku yakin sekali bahwa Mbah Slamet tak pernah mengikuti seminar motivasi.
Tak pernah menginap di hotel berbintang untuk mendengarkan ceramah tentang mindset, manifesting, atau vibrasi rezeki. Namun diam-diam…
ia telah menjalankan semuanya tanpa mengetahui istilahnya. Ia bangun pagi dengan pikiran bersih. Mengucap syukur tanpa suara. Membayangkan ladangnya yang subur, bukan karena teori visualisasi, tetapi karena keyakinannya bahwa Gusti Allah nderekono wong sing sregep.

Ketika ia menanam kopi, ia percaya bahwa tanah akan membalas.
Ketika ia menanam pisang, ia yakin buahnya akan menjadi rezeki. Ketika ia berjalan ke ladang, ia tahu kakinya sedang menarik kebaikan. Inilah sesungguhnya yang disebut dengan law of attraction paling tua:
pikiran bersyukur, hati yang tenang dan langkah yang mantap sehingga rezeki akan datang tanpa tahu kapan dan darimana arah kedatangannya.

Di tengah hiruk pikuknya dunia Mbah Slamet  bersuara pelan tapi menenangkan.
Dizaman ketika orang-orang suka flexing ia justru menunjukkan proses yang elegan. Disaat orang berlomba mencari motivasi modern, ia kembali kepada ajaran  laku lama : Gerak itu doa, Keringat itu hiburan, Kesetiaan itu benteng rumah tangga.

Ia adalah bukti bahwa kebijaksanaan tidak harus datang dari buku.
Tidak harus datang dari panggung. Tidak pula datang dari orang-orang yang bersuara lantang. Terkadang kebijaksanaan itu datang dari seorang petani sepuh yang duduk di atas batu, tersenyum pada aliran sungai dan mengatakan dengan lirih:

“Yen awakmu isih gelem obah, Gusti Allah ora bakal nguciwaké.
Sing penting ati tetep bening, langkah tetep lurus.”

Dan itulah warisan paling indah dari Mbah Slamet—warisan yang tidak mungkin dapat dicuri, tidak dapat ditiru secara dangkal, namuan hanya dapat diteladani dengan hati.... Wallohualam bishowab.
__________

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Magnet Kerinduan di Watuduwur: Sebuah Pertemuan Tak Terduga dengan Pak Dhani Harun

Ibu Ketua TP PKK Jateng borong produk KWT se Kecamatan Bruno

Keresahan yang Mencair di Aula B dan C: Petani Tembakau Akhirnya Bisa Tersenyum