OPT Bukan Musuh
OPT Bukan Musuh, Ketidakseimbanganlah Musuh Kita
Sebuah Pesan dari Langit
Oleh : Sutoyo
___________
Bruno, 20 November 2025__ Alam selalu punya cara untuk ikut rapat tanpa diundang. Ia tak perlu bicara, tak perlu notulen, cukup dengan menunjukkan tanda-tanda kecil yang kadang kita anggap hal sepele. Kejadian di desa Cepedak siang itu adalah contoh salah satunya.
Sebenarnya rencana hari itu sudah matang yakni Gerakan OPT jagung. Tim sudah siap, petani juga sudah berkumpul, agendapun sudah disusun. Semua terlihat “on the track”—setidaknya sampai langit tiba-tiba berubah.
Tak menyangka awan gelap datang tanpa diundang, layaknya tamu yang malu-malu tetapi ada maksud tertentu. Tidak ada petir, tidak ada angin kencang, namun kita semua merasakan ada sesuatu yang sedang bergerak.
Pak Lurah yang ikut hadir mencoba mencairkan suasana. “Tak gawekke kopi dhisik lah, ben anget,” katanya sambil mengangkat termos air panas. Niatnya sih sederhana : ngopi dulu sebelum nyemprot. Ritme khas orang desa—kerja boleh tapi ngopi tetap nomor satu.
Tetapi baru saja termos diangkat ...tiba-tiba mak pyar ! Termos meledak. Suaranya cukup mengagetkan dan semua langsung terkejut. Pak Lurah sendiri sampai melongo, mungkin beliau berpikir: iki tando opo yo ?
Belum sempat kita mencerna kejadian itu tiba-tiba menyusul butir-butir hujan yang mulai jatuh. Dan rencana gerdal pun resmi dibatalkan. Bukan karena kurang bersungguh-sungguh, tetapi lebih karena alam seolah berkata, “Ojo dhisik, durung wayahe.”
Sampai dengan titik itu muncul pula pertanyaan yang lebih besar daripada sekadar “kenapa termos meledak”:
Apakah ini hanya kebetulan, ataukah semesta sedang memberi pesan tentang cara kita memperlakukan alam?
Sebab kalau dipikir lagi, kita selalu buru-buru memerangi OPT dengan racun.
Padahal musuh sebenarnya bukanlah hama, melainkan ketidakseimbangan.
Beruntung kode alam yang dikirim masih cukup lembut hanya berupa termos pecah dan langit yang gelap. Mukin tim gerdal dinilai masih dapat dibina dan diarahkan. Lain halnya kalau tim dinilai keras apalagi menantang, mungkin yang dikirim adalah petir yang menyambar dan membakar tanpa belas kasihan.
Racun memang membunuh OPT, tetapi juga membunuh predator seperti burung, kepik, laba-laba, semut rangrang, dan makhluk kecil lain yang sebenarnya sudah disiapkan menjadi “pasukan alam”.
Suatu ekosistem yang seimbang kehadiran hama tidak pernah benar-benar merajalela. Yang membuat mereka “merajalela” adalah ketika kita memutus rantai makanan dari pemangsa-pemangsa kecil yang menjaga keseimbangan.
Maka dari kejadian disiang itu langit yang mendadak gelap, termos meledak, dan hujan datang tepat sebelum nyemprot rasanya seperti teguran halus dari alam: "Kenapa mesti panik dengan OPT? Yang perlu kamu pulihkan adalah keseimbangan. Biarkanlah predator yang bekerja. Biarkanlah alam yang menata. Aku sudah menyiapkan semuanya jauh sebelum kalian mengenal istilah insektisida.”
Jadi jika direnungkan kembali lebih dalam gerdal yang batal itu sebenarnya bukanlah suatu kegagalan. Tapi justru ia menjadi ruang refleksi kecil untuk kita bahwa pertanian bukan hanya urusan teknis, tetapi urusan batin, kesadaran, dan kerendahan hati.
Dan hari itu di ladang jagung desa Cepedak alam sudah bicara tanpa kata-kata. Tugas kita sekarang hanya satu yaitu mendengarkan dengan hati.....wallohualam bishowab.
__________

Komentar
Posting Komentar