Mitigasi sebagai Penopang Stabilitas dan Kemandirian Pangan


 Mitigasi sebagai Penopang Stabilitas    
dan Kemandirian Pangan

Oleh: Sutoyo

_____________

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperkirakan bahwa puncak musim hujan 2025/2026 akan terjadi lebih awal, yakni sekitar bulan November 2025, terutama di wilayah barat Indonesia1. Perubahan ini menjadi sinyal penting bahwa musim hujan tahun ini maju dari pola biasanya, dan diikuti oleh kemungkinan musim kemarau yang lebih panjang pada tahun berikutnya2.

Kabar ini tidak hanya penting bagi para peramal cuaca tetapi juga menjadi alarm bagi petani dan pengambil kebijakan pangan. Sebab perubahan kecil dalam kalender iklim dapat mengguncang sistem besar bernama ketahanan pangan nasional.

Perubahan pola musim merupakan cermin dari dinamika iklim global yang semakin ekstrem. Dibanyak wilayah petani menghadapi kondisi paradoksal dimana ketika curah hujan tinggi dapat menyebabkan banjir dan gagal tanam, sementara disisi lain air justru sulit didapat saat puncak kemarau.

Fenomena ini bukan semata-mata karena “alam sedang berubah,” tetapi juga merupakan sebuah isyarat bahwa pertanian kita harus bertransformasi dari reaktif menjadi adaptif. Alam tidak sedang menghukum ia sedang mengingatkan bahwa sistem pangan perlu ditata ulang mulai dari cara menanam hingga cara berpikir.

Secara umum kebijakan mitigasi sering dipahami sebagai respons darurat terhadap bencana. Padahal dalam konteks pertanian, mitigasi harus dimulai jauh sebelum bencana itu terjadi.  Ia adalah bagian dari sistem perencanaan jangka panjang menuju kemandirian pangan.

Beberapa bentuk mitigasi yang relevan untuk kondisi iklim saat ini antara lain:

  1. Mitigasi Air dan Lahan
    Penyiapan embung desa, parit resapan, atau kolam tadah hujan menjadi langkah strategis agar air hujan tidak sekadar mengalir, tapi juga tersimpan dan menjadi simpanan. BMKG dan Kementerian Pertanian telah mendorong penerapan sistem Water Harvesting untuk mengantisipasi kemarau panjang3.

  2. Mitigasi Varietas dan Waktu Tanam
    Adaptasi varietas tahan genangan dan kekeringan harus menjadi bagian dari program nasional. Penelitian di Agroteknika Journal menunjukkan bahwa pengaturan waktu tanam berdasarkan prediksi iklim mikro lokal dapat meningkatkan produktivitas hingga 20%4.

  3. Mitigasi Sosial dan Ekonomi
    Lumbung pangan desa, koperasi pertanian, dan diversifikasi usaha tani merupakan strategi mitigasi sosial-ekonomi yang menopang stabilitas pangan ketika harga turun atau hasil panen gagal.

  4. Mitigasi Pengetahuan dan Teknologi
    Teknologi prediksi cuaca, sensor kelembapan tanah, serta pemetaan wilayah rawan kekeringan dapat menjadi panduan dalam menentukan waktu tanam. Namun teknologi harus berpadu dengan kearifan lokal petani agar benar-benar efektif5.

Kemandirian pangan bukan berarti menolak impor semata, tetapi tentang kemampuan suatu desa untuk dapat memenuhi kebutuhan pangannya sendiri di tengah dinamika iklim yang berubah.

Dengan mitigasi yang kuat desa mampu mengelola air, menyesuaikan waktu tanam, dan menjaga stok pangan lokal. Disinilah pentingnya sinergi antara pemerintah, penyuluh, dan petani  agar mitigasi tidak berhenti ditataran wacana, tapi menjadi budaya bertani yang berkesinambungan.

Mitigasi yang kuat akan menciptakan ketahanan, dan ketahanan yang berkelanjutan akan menumbuhkan kemandirian.

Musim hujan yang datang lebih awal dan kemarau yang lebih panjang bukan sekadar fenomena cuaca melainkan pesan ekologis agar manusia tidak abai terhadap keseimbangan.

Dalam bahasa petani, “alam ora salah, mung kudu disinau cara uripe” — alam tidak salah, kita hanya perlu belajar cara hidupnya.

Maka, sudah waktunya mitigasi dipahami bukan sebagai beban biaya tambahan, tetapi sebagai investasi keberlanjutan pangan bangsa. Dari embung kecil di tepi sawah, dari gotong royong membangun lumbung, dari adaptasi pola tanam yang mengikuti tanda-tanda alam — di situlah fondasi kemandirian pangan tumbuh.

Kita tidak bisa mengatur hujan, tetapi kita bisa belajar menata diri di bawahnya.

Footnotes

  1. BMKG. (2025). Prediksi Musim Hujan 2025/2026 di Indonesia. Diakses dari https://www.bmkg.go.id/iklim/prediksi-musim/prediksi-musim-hujan-2025-2026-di-indonesia

  2. BMKG. (2025). Prediksi Musim Kemarau Tahun 2025 di Indonesia. Diakses dari https://www.bmkg.go.id/iklim/prediksi-musim/prediksi-musim-kemarau-tahun-2025-di-indonesia

  3. BRIN. (2023). Teknologi dan Kearifan Lokal untuk Adaptasi Perubahan Iklim pada Sektor Pertanian. Penerbit BRIN Press.

  4. Agroteknika Journal. (2025). Strategi Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim pada Perkebunan Tebu Rakyat di Indonesia. Vol. 10, No. 2.

  5. Lemhannas RI. (2022). Mitigasi Dampak Perubahan Iklim pada Bidang Pertanian Guna Mendukung Ketahanan Pangan Nasional.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Magnet Kerinduan di Watuduwur: Sebuah Pertemuan Tak Terduga dengan Pak Dhani Harun

Ibu Ketua TP PKK Jateng borong produk KWT se Kecamatan Bruno

Keresahan yang Mencair di Aula B dan C: Petani Tembakau Akhirnya Bisa Tersenyum