LP2B Bikin Petani Tenang?
LP2B Bikin Petani Tenang? Tenang dari Apa Dulu, Pak Menteri?
Catatan reflektif dari sawah, bukan dari podium.
Oleh: Sutoyo
____________
Bruno, 13 November 2025__ Beberapa hari yang lalu Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan alias Zulhas bersama-sama dengan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) Nusron Wahid, memastikan langkah konkret pemerintah untuk menjaga ketahanan pangan nasional. Salah satu kebijakan yang mereka dorong adalah percepatan penetapan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). Yakni kebijakan yang akan menghentikan alih fungsi lahan sawah menjadi perumahan, pabrik, atau kawasan komersial.
Dalam konferensi pers di Jakarta (11/11/2025), Zulhas menyebutkan bahwa langkah ini sebagai “kabar gembira bagi petani.” Bahkan ditegaskan bahwa setelah LP2B diterapkan, “para petani bisa bekerja dengan tenang, aman, dan nyaman, karena sawahnya tak bisa dikonversi lagi.” tentu saja pernyataan ini terdengar manis di telinga. Tetapi tidak bagi mereka yang tiap hari mencelupkan kakinya di lumpur sawah. Sebab ucapan itu justru terkesan agak waton njeplak tanpa melihat kenyataan di lapangan.
LP2B Penting, Tapi Tidak Menjawab Keresahan Harian Petani
Kita tentunya sepakat bahwa LP2B adalah sebuah langkah yang penting. Negara memang wajib melindungi lahan pangan agar tidak lenyap oleh beton dan aspal. Data dari Kementerian Pertanian (2024), menunjukkan bahwa Indonesia kehilangan sekitar 90.000 hektar lahan sawah per tahun akibat konversi. Itu setara dengan dua kali luas Jakarta setiap tahunnya. Jadi penetapan LP2B jelas-jelas kebutuhan yang mendesak.
Namun ketenangan petani bukan hanya soal punya lahan, tetapi soal apakah lahan itu masih layak diolah dan menghasilkan cukup untuk hidup dan menghidupi keluarganya. Faktanya, menurut Badan Pusat Statistik (BPS, Oktober 2025), Nilai Tukar Petani (NTP) nasional baru mencapai 109,41 — artinya petani memang sedikit lebih untung dari biaya produksinya, tetapi itu kan tidak ada jaminan kestabilan. Ketika harga komoditi turun sedikit saja, maka keuntungan itu bisa-bisa malah jadi lenyap.
Bagi petani yang dapat membuat tidur nyenyak bukanlah surat keputusan LP2B, tetapi harga komoditas yang tak jeblok disaat panen raya.
Tanahnya Aman, Tapi Harga Panennya Tak Menentu
Sebuah studi dari MDPI (2024), menunjukkan bahwa fluktuasi harga komoditas pangan seperti padi, cabai, dan bawang merah di Indonesia masih sangat tinggi dan saling memengaruhi antar wilayah (price volatility spillover). Akibatnya, petani sering tak bisa memprediksi berapa sih sebenarnya hasil bersih dari panen mereka. Oleh karena itu dalam kondisi seperti ini, memiliki sawah yang “dilindungi” LP2B tidak otomatis jaminan membuat hati mereka tenang.
LP2B memang mencegah lahan dijual ke developer akan tetapi tidak serta merta mencegah harga-harga komoditas dijual murah ke tengkulak. Bahkan, dibanyak daerah LP2B justru menimbulkan paradoks baru: petani tetap miskin diatas tanah yang “tak boleh dijual.”
Dari Pagar Lahan ke Pagar Harga
Kebijakan LP2B ibarat pagar yang menjaga sawah agar tetap hijau di peta. Tetapi yang dibutuhkan petani sebenarnya adalah pagar harga, yang menjamin hasil panennya tidak anjlok di pasar. Perlindungan harga seperti halnya floor price atau harga pembelian gabah oleh pemerintah (HPP) justru lebih langsung berdampak pada ketenangan petani.
Menurut Bank Dunia (2023), sekitar 60% rumah tangga petani kecil di Asia Tenggara masih hidup dalam ketidakpastian ekonomi akibat volatilitas harga dan biaya input pertanian. Artinya, petani tidak butuh janji “tenang karena sawah tak dijual”, tetapi jaminan hidup layak dari sawah yang mereka kelola.
Dua Kebijakan, Dua Dimensi Ketenangan
Idealnya LP2B dan kebijakan harga dapat berjalan seiring sekata. LP2B menjaga agar sawah tidak habis, sedangkan perlindungan harga menjaga agar petani tidak ikut habis semangatnya.
Satu menjaga lahan hidup petani, yang satu lagi menjaga hidup dan kehidupan petani dari lahan miliknya.
Sayangnya pejabat kita sering berhenti di kalimat manis: “Petani tenang karena sawahnya aman.”
Padahal di lapangan petani lebih tenang kalau hasil panennya cukup untuk beli pupuk, bayar sekolah anak, dan masih ada sisa buat menabung.
Jadi sebelum Menteri bilang petani akan “tenang, aman, dan nyaman”, mungkin beliau perlu turun sebentar untuk duduk ditepi pematang bersama dengan para petani mendengar obrolan ala warung kopi:
“Sawahku memang masih ada, tapi kan regane gabah isih jeblok, Boss.”
Itulah realita yang seharusnya menjadi pijakan kebijakan pangan.
LP2B memang penting untuk masa depan pertanian, tetapi tidak kalah pentingnya adalah perlindungan harga komoditas yang menentukan masa depan petaninya. Dan disitulah letak “ketenangan” yang sebenarnya — bukan di meja konferensi pers, tetapi di hati petani yang pulang panen tanpa rasa cemas.
___________

Komentar
Posting Komentar