Jerami, Energi, dan Masa Depan Sawah Kita
Jerami, Energi, dan Masa Depan Sawah Kita
Oleh : Sutoyo
______________
Bruno, 17 November 2025__Viralnya BOBIBOS beberapa hari terakhir membuat jerami padi yang biasanya hanya dibakar di tepian sawah tiba-tiba kembali menjadi bahan perbincangan nasional. Inovasi BOBIBOS (Bahan Bakar Original Buatan Indonesia, Bos!) yang digagas oleh M. Iklas Thamrin dan diklaim mampu mengubah jerami padi menjadi bahan bakar nabati melalui lima tahapan proses pengolahan secara biokimia. Tentu saja tanggapan pro dan kontra langsung bermunculan sebagian menyambutnya dengan bangga dan sebagian yang lain meragukannya habis-habisan. Namun terlepas dari perdebatan itu semua ada satu hal bahwa jerami akhirnya kembali dipandang sebagai sesuatu yang bernilai.
Sebelum inovasi ini ramai menjadi bahan pembicaraan di media para peneliti biomassa sebenarnya sudah berkali-kali menegaskan bahwa Indonesia menyimpan potensi jerami yang luar biasa besar. Haryanto dan tim dari Jurnal Teknologi Industri Pertanian (2019), mencatat bahwa Indonesia menghasilkan sekitar 48 juta ton jerami padi kering per tahun. Bahkan kajian UNIDA (2023), menyebutkan angka dapat mencapai 82 juta ton, jika dihitung berdasarkan rasio umum 1 ton gabah menghasilkan 1,5 ton jerami. Angka sebesar ini menjadikan jerami sebagai salah satu sumber biomassa yang paling melimpah di Asia Tenggara, namun ironinya sebagian besar jerami itu hanya dibakar begitu saja.
Klaim BOBIBOS bahwa dalam satu hektare jerami dapat menghasilkan sekitar 3.000 liter bahan bakar memang perlu diuji dan dibuktikan lebih lanjut. Tetapi jika angka itu digunakan sebagai ilustrasi kasar maka nilainya cukup mengejutkan. Bayangkan saja 3.000 liter itu setara dengan sekitar 18,9 barel minyak. Sehingga jika dikalikan dengan total sawah diseluruh Indonesia yang masuk dalam data LP2B sebanyak 7,4 juta hektare (data Kementan 2024), maka secara teoritis jerami Indonesia bisa menyumbang lebih dari 130 juta barel ekuivalen bahan bakar per tahun. Atau sekitar 30 persen dari konsumsi BBM nasional. Apakah ini angka final? Tentu saja tidak. Setidaknya gambaran itu menunjukkan bahwa jerami bukanlah sekedar residu panen yang tak bernilai.
Menariknya proses konversi biofuel berbasis jerami termasuk proses setipe BOBIBOS sebenarnya tidak meninggalkan limbah yang berbahaya. Sebab berdasarkan literatur biokonversi lignoselulosa seperti Pandey (2016) dan Zheng (2014), limbah utama yang tersisa biasanya berupa residu padat kaya lignin serta limbah cair hasil fermentasi. Residu padatnya tidak dapat langsung digunakan sebagai pupuk tetapi sangat potensial untuk dijadikan sebagai bahan kompos jika dicampur dengan bahan yang kaya nitrogen dan kemudian difermentasi satu hingga dua bulan. Sementara limbah cairnya setelah distabilkan dapat menjadi pupuk organik cair yang bermanfaat bagi tanah sawah. Dengan kata lain proses biofuel justru membuka peluang bagi ekonomi sirkular dimana jerami akan menjadi energi dan sisa-sisanya kembali menjadi nutrisi tanah.
Di titik inilah viralnya BOBIBOS menjadi penting. Ia bukan hanya soal benar atau tidak benar, berhasil atau tidak berhasil, melainkan tentang keberanian melihat ulang potensi yang selama ini dianggap remeh. Jerami muncul kembali dalam diskusi publik bukan sebagai sampah, tetapi sebagai komoditas strategis. Dan lebih jauh lagi, ini mengikat langsung dengan isu LP2B yakni lahan sawah abadi yang keberadaannya terus diperjuangkan oleh pemerintah. Selama ini LP2B selalu dibicarakan hanya soal beras dan ketahanan pangan. Padahal sawah bukan hanya penghasil makanan, melainkan juga penghasil biomassa energi yang sangat besar. Jika kita mampu mengelola jerami dengan benar maka LP2B bukan hanya menyelamatkan beras, tetapi juga membuka peluang baru ketahanan energi berbasis desa.
Perdebatan soal BOBIBOS tentu saja harus tetap berjalan secara sehat. Klaim teknis harus diuji, proses harus transparan, dan produk harus memenuhi standar mutu. Tetapi lebih berbahaya dari klaim yang belum terbukti adalah sikap sinis yang mematikan semangat inovasi lokal. Jerami sudah terlalu lama dianggap tak penting; jangan sampai saat ia mulai bersuara kita justru meremehkannya. Mungkin benar jerami tidak sekuat batu bara, tidak setenar minyak bumi, dan tidak secanggih panel surya. Tetapi jerami punya sesuatu yang tak dimiliki oleh energi lain: ia tumbuh dari tanah petani, dari keringat orang kecil, dan dari lahan LP2B yang ingin kita selamatkan bersama.
Dan jika hari ini jerami menjadi percakapan publik, mungkin ini pertanda baik. Pertanda bahwa bangsa ini mulai melirik ke lumbung sendiri. Bahwa solusi besar bisa lahir dari bahan paling sederhana. Bahwa ketika desa diberi ruang untuk mencoba, energi baru—baik secara harfiah maupun maknawi—bisa muncul dari tempat yang tidak kita duga. Semoga viralnya BOBIBOS bukan sekadar berita sesaat, tetapi pijakan awal untuk mengubah cara kita memandang jerami, sawah, dan masa depan energi Indonesia....Wallohualam bishowab
______________

Komentar
Posting Komentar