Benarkah Hidup Harus Bersaing?
Benarkah Hidup Harus Bersaing?
Pasar Tradisional Punya Jawaban Berbeda
Oleh : Sutoyo
______________
Pagi di pasar tradisional selalu membawa semacam ketenangan yang tidak bisa ditiru oleh pusat perbelanjaan modern—bau tanah basah, suara motor berdesakan, dan obrolan pedagang yang mengalir seperti sungai kecil. Di sudut pasar itu ada pemandangan yang barangkali luput dari perhatian banyak orang padahal menyimpan pelajaran penting tentang bagaimana seharusnya kita memandang hidup dan rezeki.
Tampak dua orang penjual gembus duduk berdampingan: satu perempuan tua berkerudung ungu, wajahnya keriput namun teduh, ditemani anglo kecil berbahan bakar kayu; dan yang satunya lagi perempuan lebih muda, memakai hijab merah, dengan kompor gas kecil sebagai senjata andalannya. Mereka menjual produk yang sama, di tempat yang sama, pada waktu yang sama. Secara teori ekonomi modern, pemandangan ini adalah bibit kompetisi bahkan potensi saling bergesekan. Dua usaha, satu pasar, satu jenis barang. Tapi kenyataannya tidak demikian.
Justru yang terjadi adalah sebaliknya: mereka duduk tenang, kadang saling ngobrol, saling menoleh, bahkan sesekali tertawa bersama. Tidak ada drama “rebutan pelanggan” ala sinetron, tidak ada lirikan sinis, tidak ada strategi pemasaran yang agresif. Yang ada justru kehangatan dua orang manusia yang paham bahwa rezeki tidak datang dengan cara sikut-menyikut, tetapi karena ketenangan menerima bagian masing-masing.
Memang jika dilihat dari tampilan keduanya sebenarnya punya “segmen pasar” yang berbeda. Sang nenek menjual gembus dari pati ketela—putih bersih, lembut, dan klasik. Sementara sang ibu muda menawarkan gembus dari ampas ketela yang warnanya sedikit lebih kecoklatan, khas produksi rumahan yang lebih sederhana. Bahan bakarnya juga berbeda: anglo kayu melawan kompor gas, tradisional bertemu modern. Ternyata perbedaan itu sama sekali tidak membuat mereka harus berseberangan.
Di tengah derasnya budaya kompetisi hari ini—dari sekolah yang membandingkan ranking, kantor yang menyamakan kinerja dengan angka-angka, hingga media sosial yang memamerkan pencapaian sebagai lomba tanpa garis finis—pemandangan seperti ini rasanya sangat menampar : Benarkah hidup harus selalu bersaing?
Pasar tradisional, tanpa disuruh, tanpa seminar motivasi, tanpa teori manajemen modern, menghadirkan jawabannya dengan sederhana: tidak atau setidaknya tidak selalu.
Rezeki, kata banyak orang tua tidak datang lebih cepat hanya karena kita memaksa. Tidak juga berhenti hanya karena seseorang di sebelah kita menjual barang serupa. Di pasar itu dua penjual gembus seolah sepakat bahwa hidup ini lebih tentang berbagi ruang daripada memperebutkan ruang; lebih tentang saling memanusiakan daripada saling mengalahkan.
Bahkan kalau diamati lebih dekat lapak mereka bukan hanya berdampingan, tetapi benar-benar menyatu secara alami—tenggok dan tampah ditata rapi, seperti tidak ada sekat di antara keduanya. Ibarat dua rumah berbeda yang pekarangannya menyatu tanpa pagar, tanpa garis perbatasan. Terlihat sederhana, tapi sebenarnya itu adalah simbol kebijaksanaan yang lahir dari pengalaman panjang hidup sebagai pedagang kecil.
Para penjual pasar tradisional seperti mereka mungkin tidak pernah membaca buku-buku tentang ekonomi kolaboratif, tidak bicara tentang “kompetisi sehat,” tidak memaparkan teori supply-demand. Tetapi dalam keseharian mereka mempraktikkannya jauh lebih baik dari siapa pun: bahwa peluang bukan sesuatu yang harus direbut melainkan dirawat bersama.
Kadang kita lupa bahwa sebelum dunia ini dipenuhi dengan jargon tentang percepatan, inovasi, dan kompetisi, manusia hidup lebih lama dalam budaya kebersamaan. Pasar tradisional adalah sisa-sisa ingatan kolektif itu—tempat di mana orang bekerja bukan demi mengalahkan tetapi demi mencukupi.
Melihat dua penjual gembus itu rasanya kita seperti diajak kembali kepada kesadaran paling dasar: bahwa hidup bukan pertandingan sprint. Tidak semua harus dipercepat. Tidak semua harus dibandingkan. Tidak semua harus berlomba. Adakalanya hidup justru lebih damai saat kita berhenti menempatkan diri sebagai lawan bagi orang lain dan mulai melihat bahwa rezeki punya caranya sendiri untuk datang pada waktunya.
Mungkin, tanpa kita sadari, dua perempuan itu sedang mengajarkan sesuatu yang sederhana namun mahal: bahwa kedamaian adalah rezeki yang sering kita abaikan. Dan pasar tradisional—dengan segala kesederhanaannya—masih punya cara elegan untuk mengingatkan kita bahwa tidak semua hal perlu dipertandingkan.

Komentar
Posting Komentar