Sumpah Pemuda Tak Pernah Kedaluwarsa

 


🇮🇩 Sumpah Pemuda Tak Pernah Kedaluwarsa


Oleh : Sutoyo

__________

*Bruno, 28 Oktober 2025__* Setiap tanggal 28 Oktober, kalimat “Kami putra dan putri Indonesia…” kembali terdengar di ruang-ruang upacara, dicaption media sosial, dan dipidato para pejabat. Namun jauh dibalik upacara dan formalitas itu tersisa satu pertanyaan yang layak untuk direnungkan kembali apakah Sumpah Pemuda masih relevan dizaman yang serba cepat, dizaman ketika perhatian kita lebih sering habis untuk layar daripada untuk negeri?.


Bagi sebagian anak muda Sumpah Pemuda mungkin berasa seperti sebuah label di toples kenangan, penting tapi sudah lewat masa edarnya. Padahal kalau dipikir dan direnungkan secara mendalam semangat yang terkandung di dalamnya takkan pernah kedaluwarsa. Ia seperti cahaya yang menyesuaikan dengan zamannya. Dulu Sumpah Pemuda menyinari langkah menuju kemerdekaan, kini seharusnya menerangi cara kita berpikir, berkreasi, dan berkontribusi diera digital.


Tahun 1928 para pemuda rela menempuh perjalanan berhari-hari hanya untuk bertemu dan menyatukan sebuah gagasan. Mereka jelas belum punya gawai, sinyal, atau “grup WhatsApp lintas daerah”. Yang mereka  miliki hanyalah satu keyakinan bahwa persatuan jauh lebih penting daripada perbedaan.


Sangat kontradiksi dengan keadaan kita sekarang ini yang dapat terhubung hanya dengan satu sentuhan layar saja. Namun yang terjadi justru sering kali semakin jauh dalam hal perbedaan pemikiran dan empati. Disinilah sesungguhnya  letak urgensi Sumpah Pemuda bagi generasi sekarang yakni menyatukan bukan hanya lewat teknologi, tetapi lewat tujuan. Kalau dulu mereka bersumpah dalam tinta perjuangan, kini harusnya kita bersumpah dalam jejak digital yang beretika dan bermakna.


Bahasa Indonesia dulu menjadi alat pemersatu ditengah ratusan bahasa daerah. Kini diera komentar cepat dan status yang viral, bahasa kembali diuji, apakah masih menjadi alat persatuan atau sebaliknya menjadi senjata untuk saling menjatuhkan?  Sumpah Pemuda mengajarkan bahwa memilih diksi adalah juga memilih sikap. Generasi muda masa kini perlu menyadari bahwa like, share, dan caption juga dapat menjadi ladang perjuangan apabila benar-benar digunakan untuk menyebarkan semangat kebaikan dan kebersamaan.


Dulu nasionalisme lahir dari semangat pengorbanan, bukan dari desain grafis atau tagar trending. Kini nasionalisme bisa tumbuh lewat kejujuran dalam bekerja, kepedulian pada lingkungan, dan keberanian melawan korupsi, hoaks, serta ketidakadilan.


Cinta tanah air tidak selalu membutuhkan bendera di tangan,  terkadang cukup dengan etos dipekerjaan. Sumpah Pemuda tidak meminta kita untuk mengangkat senjata, tetapi mengangkat martabat bangsa melalui karya dan integritas.


Setiap guru yang mengajar dengan hati, setiap petani yang menanam tanpa merusak bumi, setiap pelajar yang belajar tanpa menyontek  itu  semua sesungguhnya sedang menepati sumpah itu dalam versi kekiniannya.


Zaman boleh berubah, gaya boleh berganti. Kalau dulu pemuda berjuang di medan perang, kini mereka berjuang di medan gagasan dan kreativitas. Tantangannya bukan lagi penjajah berseragam, tapi penjajahan mental yang berwujud kemalasan, ketidakpedulian, dan kehilangan arah.


Namun kabar baiknya, setiap generasi selalu punya pemuda tangguh yang tidak kenal menyerah. Mereka yang tetap peduli, tetap bekerja, dan tetap percaya bahwa perubahan besar dimulai dari langkah yang kecil.


Sumpah Pemuda bukan sekedar teks sejarah, melainkan napas panjang dari cita-cita Indonesia. Ia mungkin tidak lagi dibacakan dengan suara lantang di tengah lapangan, tapi bisa dihidupkan kembali melalui sikap yang sederhana seperti menghargai perbedaan, menjaga kejujuran, dan terus berharap pada masa depan bangsanya.


Karena sejatinya sumpah yang lahir dari hati tak kan pernah kedaluwarsa. Ia hanya menunggu generasi baru yang bersedia memperbaharui maknanya... Wallohualam bishowab

____________

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Magnet Kerinduan di Watuduwur: Sebuah Pertemuan Tak Terduga dengan Pak Dhani Harun

Ibu Ketua TP PKK Jateng borong produk KWT se Kecamatan Bruno

Keresahan yang Mencair di Aula B dan C: Petani Tembakau Akhirnya Bisa Tersenyum