PPL, Petani, dan Masa Depan Pertanian
PPL, Petani, dan Masa Depan Pertanian: Kritik atas Penilaian Kinerja dan Tawaran Taksonomi SOLO
Oleh : Sutoyo
Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) sering disebut sebagai “ujung tombak pembangunan pertanian.” Mereka menjadi jembatan antara kebijakan pemerintah dengan kebutuhan petani di lapangan. Namun, ironisnya, cara kita menilai kinerja PPL selama ini masih terjebak dalam logika administratif: angka kredit, laporan, dan catatan SKP.
Pertanyaannya: apakah laporan yang rapi otomatis mencerminkan kualitas pendampingan? Apakah angka kredit mampu menggambarkan seberapa luas wawasan penyuluh, atau seberapa dalam penalarannya ketika menghadapi persoalan petani yang semakin kompleks?
Di tengah tantangan global—perdagangan bebas, krisis iklim, revolusi digital—penilaian kinerja berbasis administrasi jelas tidak lagi cukup. Kita butuh kerangka baru yang mampu mengukur kualitas PPL secara lebih bermakna. Disinilah Taksonomi SOLO (Structure of Observed Learning Outcome) menawarkan perspektif segar.
Selama ini, kinerja PPL sangat bergantung pada sistem angka kredit. Laporan kegiatan, catatan kunjungan, dan data administrasi menjadi “mata uang” yang menentukan naik tidaknya pangkat dan jabatan. Akibatnya, penyuluh cenderung bekerja untuk memenuhi berkas, bukan untuk memaksimalkan dampak ke petani.
Kebijakan ini punya efek samping serius. Pertama, penyamarataan: PPL inovatif yang berhasil mendorong kelompok tani maju tidak otomatis mendapatkan apresiasi lebih dibanding penyuluh yang hanya sekadar formalitas. Kedua, beban administratif: semakin tinggi target laporan, semakin sedikit waktu yang tersisa untuk mendampingi petani di lahan. Ketiga, keterputusan dari realitas global: sementara dunia menuntut pertanian berdaya saing, kita masih sibuk dengan lembar isian angka kredit.
Banyak PPL di lapangan merasakan dilema. Mereka tahu petani butuh solusi nyata, tetapi tenaga habis untuk urusan laporan. Inovasi yang muncul sering tidak tercatat dalam sistem angka kredit, sehingga tidak dianggap “prestasi.”
Padahal, kualitas seorang PPL bukan hanya soal seberapa banyak kunjungan atau laporan yang ia hasilkan, melainkan kemampuan bernalar secara sistemik. Penyuluh sejati adalah mereka yang mampu melihat hubungan antara budidaya, ekologi, pasar, kelembagaan, dan bahkan kebijakan. Namun, tanpa kerangka penilaian yang tepat, kapasitas ini sering tak terlihat.
Bagi petani, angka kredit sama sekali tidak relevan. Mereka tidak peduli berapa poin yang dikumpulkan PPL dalam setahun. Yang mereka butuhkan adalah pendampingan nyata, solusi praktis, dan keberanian berinovasi bersama.
Petani sering mengeluh: PPL hadir hanya untuk “absen” atau memenuhi kewajiban administratif, bukan untuk betul-betul memecahkan persoalan di lahan. Akibatnya, hubungan emosional dan kepercayaan petani kepada PPL perlahan memudar. Jika ini terus dibiarkan, maka penyuluhan akan kehilangan makna sosialnya.
Pertanian Indonesia menghadapi persaingan yang makin ketat: harga harus kompetitif, produk harus berkualitas, sistem harus berkelanjutan. Negara lain melesat dengan inovasi, sementara kita masih berkutat dengan pola lama.
Di sinilah peran PPL menjadi krusial. Jika PPL hanya berperan sebagai operator teknis, petani akan sulit beradaptasi. Namun, jika PPL mampu menjadi fasilitator, inovator, bahkan advokat kebijakan, maka pertanian kita bisa punya masa depan yang lebih cerah.
Tantangannya adalah: bagaimana menilai dan mengembangkan kapasitas PPL agar mereka siap menghadapi era global ini?
Taksonomi SOLO, yang awalnya digunakan dalam pendidikan untuk menilai kedalaman penalaran siswa, dapat diadaptasi untuk penyuluhan. Kerangka ini menilai sejauh mana seseorang mampu memahami, menghubungkan, dan menggeneralisasi pengetahuan.
Jika diterapkan pada PPL, levelnya bisa digambarkan begini:
-
Pre-structural → PPL tidak relevan dengan masalah petani, jawabannya dangkal.
-
Uni-structural → PPL memahami satu aspek (misal: pupuk) tapi mengabaikan aspek lain.
-
Multi-structural → PPL memahami banyak aspek, tetapi masih terpisah.
-
Relational → PPL mampu mengintegrasikan aspek teknis, pasar, sosial, kelembagaan menjadi solusi komprehensif.
-
Extended abstract → PPL mampu berinovasi, membuat model baru, bahkan melakukan advokasi kebijakan untuk petani.
Dengan kerangka ini, penilaian kinerja PPL tidak lagi semata-mata administrasi, tetapi menilai kedalaman nalar dan keluasan wawasan. Hasilnya bisa dipakai sebagai peta kompetensi sekaligus panduan pengembangan karier.
Jika ingin serius menyiapkan PPL untuk masa depan pertanian, pemerintah perlu:
-
Menggeser paradigma penilaian: tidak cukup angka kredit, perlu ukuran berbasis kapasitas bernalar dan inovasi.
-
Membuat roadmap pengembangan PPL: target minimal berada di level Relational, dengan ruang untuk tumbuh hingga Extended abstract.
-
Menyinergikan penilaian dengan kebutuhan petani: keberhasilan kelompok tani dan daya saing produk harus masuk dalam indikator.
-
Memberi ruang inovasi: PPL yang kreatif perlu diapresiasi, bukan ditekan oleh birokrasi laporan.
Penyuluh pertanian adalah garda depan yang menentukan apakah petani kita bisa bertahan dan menang dalam kompetisi global. Namun, selama kinerja mereka dinilai hanya lewat laporan dan angka kredit, potensi besar mereka tidak akan pernah terlihat.
Taksonomi SOLO menawarkan kerangka baru: menilai dari kedalaman penalaran dan keluasan wawasan. Dengan pendekatan ini, kita tidak hanya menilai apa yang ditulis PPL di kertas, tapi juga apa yang mereka lakukan di lahan, bagaimana mereka bernalar, dan sejauh mana mereka mampu mendorong petani maju.
Sebuah refleksi sederhana: Jika PPL hanya dinilai dari laporan, maka masa depan pertanian kita hanya akan penuh kertas. Tetapi jika PPL dinilai dari kualitas nalar dan wawasan, maka masa depan pertanian Indonesia bisa penuh harapan
______________
Komentar
Posting Komentar