Membaca Swasembada Era Soeharto dan Era Prabowo
Oleh : Sutoyo
_____________
Bangsa ini sedang larut dalam suasana bergembira. Spanduk dan baliho ucapan selamat atas capaian “Swasembada Beras” ada dimana-mana. Di televisi para pejabat berebut menyampaikan kabar baik tentang meningkatnya produksi beras, stok melimpah, dan berkurangnya impor.
Suasana seperti ini mengingatkan kita pada era tahun 1984, disaat itu Presiden Soeharto menerima penghargaan dari FAO karena Indonesia dinyatakan telah berhasil swasembada beras. Panggungnya megah, sorak sorainya serupa, bahkan narasinya pun hampir sama: “Petani sejahtera, bangsa berdaulat.”
Namun sejarah telah mengajarkan satu hal penting bahwa keberhasilan pangan bukanlah akhir dari perjuangan, melainkan awal dari ujian yang sesungguhnya. Maka, sebelum kita larut dalam euforia panen besar, mari kita membaca ulang — bagaimana Soeharto membangun swasembada, dan bagaimana Prabowo kini menapaki jalan yang mirip namun di zaman yang berbeda.
Swasembada Era Soeharto
Swasembada beras pada 1984 tidak lahir sim salabim dari sulapan politik. Ia adalah hasil proses yang panjang selama hampir 15 tahun sejak awal Orde Baru. Tercatat pada tahun 1969, produksi beras nasional sekitar 12,2 juta ton, lalu meningkat menjadi 25,8 juta ton pada 1984 (Kumparan Bisnis, 2023). Kenaikan produksi ini didukung oleh program Bimas dan Inmas, pembangunan jaringan irigasi dari 3,56 juta hektar (1969) menjadi 4,09 juta hektar (1985) (IndonesiaBaik.id, 2022), serta distribusi benih unggul IR-36, dan subsidi pupuk besar-besaran.
Pada saat itu pemerintah juga memperkuat kelembagaan pangan seperti Bulog, sistem penyuluhan pertanian nasional, dan kebijakan stabilisasi harga gabah. Semua itu membentuk satu ekosistem pangan nasional yang kokoh, bukan sekadar lonjakan panen musiman. Jadi “Swasembada dimasa Soeharto bukan hanya hasil pupuk dan benih unggul, tetapi juga hasil dari disiplin kebijakan yang berjalan selama bertahun-tahun.”
Namun, setelah penghargaan FAO diterima, swasembada mulai menurun pada awal 1990-an. Produktivitas stagnan, sementara tekanan terhadap lahan juga ikut meningkat. Artinya, keberhasilan produksi tidak otomatis menjamin ketahanan pangan dalam jangka panjang apabila sistem tidak diperbaharui.
Swasembada di Era Prabowo
Empat puluh tahun kemudian, Presiden Prabowo Subianto menegaskan tekad “mengembalikan kejayaan pangan nasional.” Kementerian Pertanian mengalokasikan Rp 23,61 triliun anggaran langsung ditahun 2025 untuk mendukung swasembada beras (Media Indonesia, 7 Oktober 2024). Secara keseluruhan, belanja ketahanan pangan nasional tahun 2025 mencapai Rp 139,4 triliun (API.or.id, 2024).
Pemerintah juga menargetkan cetak sawah baru seluas 3 juta hektar dalam tiga tahun dan menaikkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk gabah menjadi Rp 6.500/kg (Ekonomi Bisnis, 29 Oktober 2024). Kementan bahkan mengklaim bahwa stok beras nasional telah mencapai lebih dari 4 juta ton dan “swasembada beras tinggal menunggu waktu” (Periskop.id, 22 Oktober 2025).
Euforia pun segera meluap, tetapi dibalik angka-angka itu, muncul pertanyaan yang cukup mendasar:
- Apakah keberhasilan ini lahir dari efisiensi sistem pertanian, ataukah sekedar ledakan produksi akibat input besar-besaran?
- Apakah infrastruktur dasar seperti irigasi, penyuluhan, dan kelembagaan petani ikut diperkuat seperti pada era Orde Baru, ataukah justru tersisih oleh pendekatan proyek jangka pendek? Yah “Kita boleh bangga, tetapi tidak boleh mabuk panen. Karena ketahanan pangan tidak dibangun dari euforia, melainkan dari sistem yang tahan banting.”
Rasio Investasi dan Daya Tahan
Era Soeharto mengalokasikan sekitar 13% APBN untuk sektor pertanian pada awal pembangunan (Repelita I–III) — dengan fokus pada infrastruktur dan kelembagaan jangka panjang. Sementara era Prabowo, porsi investasi langsung ke produksi meningkat, tetapi dominan dalam bentuk subsidi input, proyek cetak sawah, dan bantuan alat pertanian. Jika dilihat dari efisiensi, tantangan baru muncul:
Produksi meningkat cepat, tapi biaya per hektar dan ketergantungan terhadap input impor (pupuk, pestisida, benih) juga meningkat. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai impor pupuk mencapai USD 1,3 miliar pada 2023, naik 27% dari tahun sebelumnya. Tentu saja hal ini adalah indikasi bahwa “swasembada beras” belum tentu berarti “swasembada input.”
Satu rupiah dimasa Soeharto menghasilkan irigasi yang bertahan hingga puluhan tahun,
sementara satu triliun dimasa kini bisa habis hanya untuk menutup defisit pupuk disatu musim tanam.
Dua Era, Dua Tantangan
Soeharto kala itu berhadapan dengan keterbelakangan teknologi dan kekurangan pangan. Sementara Prabowo saat ini berhadapan dengan perubahan iklim, alih fungsi lahan, dan krisis regenerasi petani. BPS melaporkan bahwa luas baku sawah turun dari 7,46 juta ha (2019) menjadi 7,10 juta ha (2023) (BPS, Statistik Lahan Sawah Indonesia 2024).
Kalau Orde Baru dulu membangun dari serba kekurangan, era kini justru menghadapi banyak kelebihan: data banyak, alat modern tersedia, tetapi koordinasi dan keberlanjutan sering terhambat. Swasembada dimasa lalu lahir dari disiplin kebijakan, sedangkan kini diuji oleh disiplin implementasi.
Bangsa ini tentu patut bangga dengan capaian yang ada. Namun kebanggaan tanpa kewaspadaan adalah jalan tercepat menuju pengulangan kesalahan lama. Swasembada bukan finish line, melainkan checkpoint yakni kesempatan untuk menilai apakah kebijakan kita sedang menanam sistem ataukah sekedar menanam angka. Sejarah mencatat, Soeharto tidak gagal dalam menanam padi, tetapi gagal dalam menanam trust sosial dan pemerataan kesejahteraan. Semoga sejarah itu tidak berulang dalam bentuk baru: politik pangan tanpa kesadaran pangan.
“Bangsa yang bijak tidak hanya menghitung ton beras dari sawahnya, tapi juga menakar daya tahan sistem yang membuat sawah itu tetap hidup.”.... Wallohualam bishowab
____________

Komentar
Posting Komentar