Ketika Kacang Hijau Menggeser Kedelai

Ketika Kacang Hijau Menggeser Kedelai: Petani Sudah Punya Logika Sendiri 


Oleh : Sutoyo

____________

Sekitar tahun 2019, peta pertanian di Kecamatan Pituruh mulai bergeser. Lahan yang dulunya dipenuhi oleh tanaman kedelai, perlahan berubah menjadi hamparan kacang hijau. Awalnya dianggap tren sesaat, namun hingga kini, arah itu justru semakin mantap. Bukan tanpa alasan hal itu dapat terjadi sebab saat itu  kacang hijau dihargai mencapai  dua kali lipat dari harga kedelai, sementara produktivitasnya relatif berimbang. 

Secara hitung-hitungan sederhana dan cukup jelas mana yang lebih menguntungkan maka petani pun akan beralih. Bukan karena diperintah, tetapi karena mereka telah berpikir logis. Namun ironinya disaat petani sudah punya arah sendiri, kebijakan masih saja sibuk mendorong program Pajale (Padi, Jagung, Kedelai). 

Berbagai upaya dilakukan untuk “mengembalikan” petani ke kedelai. Ada iming-iming bantuan alsintan, benih unggul, hingga pelatihan budidaya, tetapi toh  hasilnya tetap nihil. Sampai suatu hari, seorang kepala desa yang juga tokoh petani melontarkan sebuah kalimat yang cukup menohok “Paling-paling tidak lama lagi pemerintah juga akan nimbrung dengan bantuan benih kacang hijau. Kalau sudah begitu, baru dianggap program resmi.”

Dan benar saja tak lama kemudian bantuan benih kacang hijau pun mulai ditawarkan. Kalimat sindiran itu seakan-akan menjadi kenyataan kecil yang menyindir cara kerja besar. "Kebijakan sering datang belakangan setelah petani lebih dulu menemukan jalannya sendiri".

Fenomena ini sesungguhnya memberi pelajaran cukup  berharga. Bahwa  sudah bukan waktunya lagi petani dipandang sekedar sebagai pelaksana program. Mereka adalah pembaca situasi yang tajam, pengambil keputusan yang realistis, sekaligus ekonom sejati yang tahu kapan harus menanam, apa yang dijual, dan kepada siapa hasilnya diserahkan.

Logika mereka sederhana tetapi kuat  "tanam yang memberi harapan, bukan yang hanya mendapat perintah". Mereka menghitung bukan berdasarkan laporan, melainkan pengalaman; bukan berdasar arahan, tetapi kenyataan di lapangan.

Pemerintah seharusnya tidak tersinggung ketika petani memilih jalan berbeda arah. Sebaliknya inilah momentum yang baik untuk belajar dari kebijaksanaan petani. Karena petani sebenarnya sudah lebih reflektif dari yang diduga. Mereka memahami bahwa kelangsungan hidup di lahan tidak bisa hanya mengandalkan janji bantuan, melainkan kepekaan terhadap harga, cuaca, dan pasar.

Pendekatan pembangunan pertanian tidak bisa lagi dengan pola “programisasi”. Kini eranya  menuntut suatu pendekatan dialogis dan adaptif, dimana pemerintah tidak sekedar memberi instruksi, tetapi mulai mendengar dan belajar dari dinamika lapangan. Karena sesungguhnya, yang paling tahu kapan waktu tanam bukan pejabat di kantor, melainkan petani yang menatap langit setiap pagi.

Pituruh hanyalah salah satu contoh kecil, tapi mempunyai gema yang besar. Di sana kacang hijau bukan sekadar komoditas, tapi simbol pergeseran cara berpikir dari “menunggu petunjuk” menjadi “mengambil keputusan”.

Maka jika pemerintah ingin berjalan seirama dengan petani, mungkin yang perlu dilakukan bukan lagi memberikan arahan, tapi menyediakan ruang dan dukungan yang cukup agar logika sehat petani dapat tetap  terus tumbuh lebih luas lagi "dengan harga yang jujur, pasar yang terbuka, dan kebijakan yang lentur".

Karena di ujungnya, petani tak lagi butuh banyak teori. Mereka hanya butuh didengar.

Dan saat kacang hijau tumbuh subur menggantikan kedelai, sesungguhnya mereka sedang menanam pesan yang kuat dan lebih dalam : “Kami sudah belajar banyak dari lahan, sekarang giliran kebijakan yang mestinya belajar dari kami.”

____________

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Magnet Kerinduan di Watuduwur: Sebuah Pertemuan Tak Terduga dengan Pak Dhani Harun

Ibu Ketua TP PKK Jateng borong produk KWT se Kecamatan Bruno

Keresahan yang Mencair di Aula B dan C: Petani Tembakau Akhirnya Bisa Tersenyum