Disonansi Kognitif Pupuk Bersubsidi
Disonansi Kognitif Pupuk Bersubsidi
Oleh : Sutoyo
___________
Karanggedang, Bruno, 22 Oktober 2025__ Pupuk bersubsidi sejatinya lahir dari niat baik pemerintah untuk membantu petani agar biaya tanam tidak mencekik. Namun di lapangan kebijakan ini justru menimbulkan fenomena psikologis yang jarang disadari yakni _disonansi kognitif._
Istilah tersebut dapat dimaknai sebagai benturan antara dua keyakinan yang saling bertolak belakang. Disatu sisi pemerintah gencar mengkampanyekan pertanian berkelanjutan, pengurangan pupuk kimia, dan peningkatan kesadaran ekologis.
Namun di sisi yang lain, kebijakan subsidi justru memperkuat ketergantungan petani terhadap input pupuk kimia sintetis.
Bayangkan seorang penyuluh lapangan baru saja menutup materi bertema “Sistem pertanian berkelanjutan”. Dan para petani baru mulai memahami arti pentingnya kompos dan mikroba tanah. Kopi di meja pun belum juga dingin, tiba-tiba ramai di grup dinas:
“Harga pupuk bersubsidi mulai hari ini resmi turun! Dan distribusi juga disederhanakan dari pabrik langsung kepada kelompok tani.”
Kontan saja petani bersorak, tetapi sebaliknya penyuluhnya spontan terdiam membisu. Maka dalam sekejap semangat menuju pertanian organik berubah menjadi euforia pupuk murah. Disinilah _disonansi kognitif_ bekerja yaitu dua buah pesan yang saling bertentangan membuat arah berpikir petani pun menjadi kabur.
Padahal berdasarkan Laporan FAO (2021), dinyatakan bahwa penggunaan pupuk kimia berlebih telah menurunkan _biodiversitas_ tanah secara global.
Sementara UNEP (2020), menegaskan bahwa pestisida sintetis turut mempercepat penurunan populasi serangga penyerbuk hingga 40%.
Dengan kata lain kebijakan subsidi memang membantu ekonomi petani, tetapi secara ekologis, ia justru menciptakan ketergantungan secara jangka panjang dan degradasi kesuburan. Tanah menjadi “lelah”, mikroba hilang, dan keseimbangan ekosistem pun terganggu.
Didalam standar global ISO 14001:2015, dikatakan bahwa setiap kebijakan produksi seharusnya mempertimbangkan dampak terhadap lingkungannya. Sayangnya prinsip keberlanjutan ini jarang menembus level kebijakan publik pertanian.
Pupuk dinilai hanya dari harga dan distribusi, bukan dari efek ekologisnya. Sejatinya jika prinsip ISO diterapkan secara utuh, maka kebijakan pupuk bersubsidi pun harusnya diuji terhadap kriteria “ramah lingkungan”, bukan hanya sekedar “ramah anggaran”.
Penyuluh (PPL) dan POPT mau tidak mau harus menjadi penafsir ditengah kekacauan narasi. Mereka harus mampu menjelaskan bahwa kebijakan dan kesadaran bisa berjalan beriringan, asal pupuk digunakan dengan bijak dan diimbangi pula dengan bahan organik lokal.
“Murah itu bukan berarti boros,” ujar Elindri sebagai PPL pendanmping desa Karanggedang. “Dan jika tanah sudah rusak maka pupuk apa pun tak akan menyelamatkan panen.” timpal Sugiyo, POPT Kecamatan Bruno.
Kalimat sederhana seperti itu justru menjadi jangkar logika petani di tengah arus kebijakan yang berubah-ubah.
Menurut FAO (2023), pertanian berkelanjutan menuntut keseimbangan antara tiga pilar yaitu ekonomi, ekologi, dan keadilan sosial.
Selama kebijakan hanya berfokus pada pertimbangan ekonomi jangka pendek saja maka _disonansi_ itu akan terus hidup.
Antara semangat hijau dan logika subsidi, antara idealisme penyuluh dan realitas politik pangan.
Maka mungkin sekaranglah waktunya mengubah arah:
Subsidi tidak harus dihapus, tetapi dialihkan sebagian untuk memperkuat pupuk organik, pelatihan kompos, dan insentif petani ramah lingkungan.
Sebab pertanian yang sehat tidak cukup hanya dengan ditopang oleh harga pupuk yang murah, tetapi oleh tanah yang tetap subur dan petani yang merdeka berpikir.
“Pupuk boleh turun harga, tapi kesadaran jangan ikut jatuh.”
__________
_ catatan penyuluh lapangan, setelah menutup materi sistem pertanian organik

Komentar
Posting Komentar