Back to Nature, Back to Krusu: Belajar Ekologi dari Orang Jawa


Back to Nature, Back to Krusu: Belajar Ekologi dari Orang Jawa


Oleh : Sutoyo

__________

Bruno, Purworejo, 8 Oktober 2025__ Ditengah hiruk-pikuk dunia modern yang sedang berburu teknologi hijau dan desain ramah lingkungan, desa-desa Jawa diam-diam telah jauh lebih dulu mempraktikkan prinsip itu sejak lama. Mereka mungkin tidak selalu menyebutnya dengan istilah _sustainable living, zero waste,_ atau _animal welfare_, tapi semua itu sudah tertanam dalam kebiasaan hidup sehari-hari. Salah satu contoh sederhana adalah *krusu* , wadah tradisional yang biasa untuk alat membawa ayam dan  terbuat hanya dari pelepah daun kelapa.


Di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, krusu masih banyak ditemui di pasar-pasar tradisional di banyak desa. Ia dibuat dari pelepah daun kelapa yang ditangkupkan, lalu dianyam rapat membentuk wadah menyerupai keranjang. Sekilas tampak sederhana, tetapi bila diperhatikan lebih dalam krusu adalah hasil perpaduan antara akal ekologis, etika terhadap hewan _(animal welfare)_ , dan teknologi ergonomik tradisional, sebuah warisan lokal yang pantas disebut inovasi hijau versi wong desa.


Pelepah kelapa dipilih bukannya tanpa alasan. Bahannya ringan, lentur, namun kuat menahan beban ayam dewasa. Sifat lentur ini membuat krusu dapat menyesuaikan dengan bentuk tubuh ayam di dalamnya, tanpa menekan atau melukai. Dua ekor ayam bisa diletakkan di dalam krusu dengan posisi saling bersilangan. kepala bertemu ekor sehingga tidak saling patuk. Desain ini bukan hasil uji laboratorium, melainkan hasil pengamatan bertahun-tahun atas perilaku ayam dan pengalaman turun-temurun.


Di sinilah nilai ekologisnya terasa. Wadah yang seluruhnya dari bahan alami ini tidak menimbulkan sampah plastik, bisa terurai setelah dipakai, dan tidak membutuhkan energi industri dalam proses pembuatannya. Setiap helai anyaman adalah hasil kerja tangan manusia yang menyatu dengan ritme alam.


Dalam dunia modern, kita mengenal istilah _animal welfare_ atau  kesejahteraan hewan. Prinsipnya sederhana yaitu hewan harus diperlakukan secara manusiawi, tidak stres, tidak kesakitan, dan memiliki ruang gerak yang memadai. Hebatnya masyarakat Jawa di pedesaan sudah lama memahami hal ini, meski tanpa sertifikasi atau istilah ilmiah yang sulit-sulit.


Ayam yang dibawa menggunakan krusu biasanya tampak lebih tenang. Ventilasi dari sela-sela anyaman membuat udara tetap mengalir, sementara ruang di dalamnya cukup luas untuk bergerak ringan tanpa menyebabkan cedera. Krusu menjaga ayam agar tetap hidup nyaman selama perjalanan ke pasar atau ke rumah tetangga yang punya hajatan. Ini bukan hanya urusan transportasi, tetapi bentuk kepedulian dan merupakan bagian dari etika Jawa yang menghormati setiap makhluk hidup, bahkan untuk seekor ayam.


Konsep _animal welfare_ sendiri kini makin mendapatkan perhatian dalam literatur peternakan di Indonesia. Sebuah artikel dari Balai Besar Pelatihan Kesehatan Hewan Cinagara menyebutkan bahwa tantangan utama dalam peternakan tradisional adalah memastikan lima kebebasan hewan _(Five Freedoms)_ yakni bebas dari lapar dan haus, bebas dari ketidaknyamanan, bebas dari rasa sakit, luka atau penyakit, bebas untuk mengekspresikan perilaku normal, dan bebas dari rasa takut dan stres. (bbpkhcinagara.bppsdmp.pertanian.go.id)


Kalau dalam dunia modern berbicara tentang desain ergonomik, maka krusu adalah contoh terbaik dari versi tradisionalnya. Dibuat mengikuti bentuk alami tangan manusia dan tubuh ayam, krusu punya keseimbangan yang nyaris sempurna. Beratnya ringan, mudah diangkat, dan punya pegangan alami dari batang pelepah. Tidak ada sudut tajam, tidak ada bahan sintetis. Semua serasi, efisien, dan berfungsi maksimal tanpa perlu prototipe digital.


Teknologi seperti ini lahir dari kearifan pengalaman yang diperoleh dari interaksi sehari-hari antara manusia, hewan, dan alam. Orang yang membuat krusu tidak berpikir soal ergonomi atau efisiensi energi, tapi hasil akhirnya justru melampaui standar itu: efisien, fungsional, dan nyaman bagi keduanya (pembawa dan hewan).


Lebih dari sekadar wadah ayam, krusu mengajarkan tentang ekologi yang membumi. Ia lahir dari bahan yang tersedia di alam sekitar, dibuat tanpa polusi, dapat digunakan berulang kali, dan akhirnya kembali menjadi tanah tanpa meninggalkan jejak limbah. Inilah siklus hidup yang selaras dengan alam -- prinsip yang kini dicoba dihidupkan kembali lewat jargon _sustainable farming_ .


Penelitian tentang kearifan lokal dalam pertanian menunjukkan bahwa pola budaya turun-temurun (seperti sistem sawah surjan di Jawa) memainkan peran penting dalam konservasi lahan dan menjaga ekosistem. Misalnya penelitian dari Universitas Negeri Yogyakarta pada sistem sawah surjan menunjukkan bahwa petani sering melakukan praktik konservasi alam secara otomatis melalui tradisi dan diversifikasi tanaman — tanpa harus diajari dengan teori ekologis formal. (Jurnal UNY)


Kini, ketika dunia mulai jenuh dengan plastik dan produk massal, krusu hadir kembali sebagai pengingat bahwa masa depan bisa dipelajari dari masa lalu. Bahwa teknologi hijau tidak selalu berarti mahal, dan keberlanjutan tidak harus bergantung pada pabrik. _Back to nature, back to krusu_ bukan sekedar ajakan nostalgia, tetapi refleksi bahwa desa menyimpan kunci masa depan bumi. 


Ditangan orang-orang yang masih menenun pelepah kelapa menjadi wadah hidup, tersimpan kearifan ekologis yang mampu menjawab krisis lingkungan global.

Kadang kita hanya perlu berhenti sejenak, menatap anyaman sederhana itu, dan menyadari bahwa betapa cerdasnya orang Jawa membaca alam dengan hati, bukan dengan teori.

__________

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Magnet Kerinduan di Watuduwur: Sebuah Pertemuan Tak Terduga dengan Pak Dhani Harun

Ibu Ketua TP PKK Jateng borong produk KWT se Kecamatan Bruno

Keresahan yang Mencair di Aula B dan C: Petani Tembakau Akhirnya Bisa Tersenyum