Tanggal Tua, Harga Rakyat:Uji Nyali Belanja di Pasar Tani Purworejo
Tanggal Tua, Harga Rakyat:Uji Nyali Belanja di Pasar Tani Purworejo
Abu Waras Berkata: “Pasar rame rojali-rohali, keranjang tetep sepi.”
Oleh: Sutoyo
____________
Tanggal 26–27 September 2025, Purworejo menggelar hajatan besar sebagai bagian dari rangkaian kegiatan Hari Tani Nasional dengan agenda Pasar Tani di halaman DKPP. Ada demo masak, ada spot foto, dan yang paling utama adalah deretan produk unggulan pertanian dari KWT dan Poktan se-Kabupaten Purworejo. Singkatnya ini adalah panggung para petani dan emak-emak kreatif untuk memamerkan hasil bumi sekaligus hasil olahannya.
Sayangnya acara sebagus ini digelar pas banget dengan tanggal tua. Mau gimana lagi, tentunya banyak dompet rakyat yang sudah mulai kempes, saldo e-wallet ngos-ngosan, bahkan recehan di dompet bisa jadi tinggal selembar dua lembar. Berbeda sekali kalau tanggal muda belanja itu gaya, sebaliknya di tanggal tua belanja itu nyali.
Pasar Tani itu bukan sekadar transaksi, ada harga rakyat, ada produk rakyat, ada rasa bangga bisa melihat hasil bumi sendiri tampil di depan mata. Tapi ketika kantong tipis, hmm… belanja pun jadi penuh perhitungan.
Kalau tanggal muda orang bisa borong beras, sayur, camilan, dan oleh-oleh. Kalau tanggal tua? Ya paling-paling beli satu dua barang, sisanya cukup buat cuci mata sambil foto-foto. Bahkan jangan heran kalau kondisi Pasar Tani jadi makin rame oleh rombongan rojali (rombongan jarang beli), rohali (rombongan hanya lihat-lihat), dan rohana (rombongan hanya nanya-nanya). Banyak yang datang, banyak yang ketawa-ketiwi, banyak juga yang hanya tanya-tanya harga—tapi belinya entar, pas tanggal muda.
Abuwaras nyeletuk:
“Kalau uang cuma seribu, jangan maksain diri belanja seribu barang. Beli satu barang, lalu pamerkan seribu senyum di spot foto.”
Pasar Tani di tanggal tua itu mirip dengan uji nyali. Orang diuji kesabarannya, diuji iman dompetnya, diuji juga kemampuannya untuk berkata, “nanti dulu Bu ya, saya akan balik di tanggal muda.”
Tetapi ya jangan salah, acara tetap meriah. Soalnya bukan hanya belanja yang dicari, melainkan suatu bentuk apresiasi. Melihat produk petani sendiri itu bikin bangga. Rasanya kayak lihat anak kampung masuk TV—walau bukan kita yang nyanyi tetap ikut seneng.
Abuwaras geleng-geleng kepala sambil bilang:
“Acaranya bagus, tempatnya oke, produknya juga keren. Tapi panitianya kayak guru matematika—pinter ngitung tapi lupa tanggal. Masak Pasar Tani digelar pas tanggal tua? Itu sama saja ngajak rakyat main sirkus: belanja jadi atraksi, bukan transaksi. Rakyat dipaksa pura-pura kaya di depan produk sendiri.”
Lalu ia menambahkan:
“Kalau mau belajar waras, bikin Pasar Tani itu jangan cuma mikirin spanduk dan panggung, tapi juga mikirin isi dompet pengunjung. Sebab yang bikin pasar hidup itu bukan seremoni, tapi perputaran uang di lapangan. Ingat, produk petani nggak bisa dibayar pakai tepuk tangan.”
Begaimanapun juga, Pasar Tani Purworejo 2025 ini tetap patut diapresiasi. Ingat, waras itu bukan hanya bikin acara besar, melainkan juga tahu kapan rakyat bisa belanja dengan lega. Kalau tidak ya jangan salahkan kalau Pasar Tani bisa berubah menjadi Pasar Foto—rame di feed, penuh rojali-rohali, tapi sepi di keranjang.
______________

Komentar
Posting Komentar