Surat Terbuka untuk teman PPL yang hebat

Surat Terbuka untuk teman PPL yang hebat : Apa yang Terlintas Saat Melihat Petani Membakar Jerami?

Oleh : Sutoyo
______________

Kepada sahabat-sahabatku, para Penyuluh Pertanian Lapangan yang hebat dan aparat pertanian lainnya.

Beberapa saat yang lalu, seorang sahabat di Desa Kledung Kradenan menyampaikan curahan hati penuh keprihatinan. Ia bercerita tentang asap jerami yang membumbung tinggi setelah panen padi. Sesungguhnya apa yang terjadi di Kledung Kradenan hanyalah potret kecil dari kebiasaan yang hampir merata di setiap desa yaitu membakar jerami sehabis panen.

Pertanyaan mendasar pun muncul :
Apa yang terlintas di benakmu ketika melihat petani membakar jerami?

Apakah cukup dengan menghela napas, memotretnya untuk laporan, atau bahkan membiarkannya seolah-olah itu sudah menjadi hal biasa? Bukankah jika kita terus membiarkannya, lama-lama seakan-akan praktik seperti ini mendapat “pembenaran” dari kita sebagai aparat pertanian?

Padahal kita tahu persis bahwa setiap kali jerami dibakar, sesungguhnya petani sedang membuang pupuk gratis. Jerami yang mereka anggap sampah itu sesungguhnya menyimpan unsur hara yang bisa mengurangi biaya pupuk, memperbaiki tanah, dan meningkatkan hasil panen apabila diolah dengan benar.

Tetapi fakta di lapangan menunjukkan bahwa ilmu itu seringkali berhenti di ruang pertemuan atau modul, belum benar-benar masuk ke lahan petani. Dan disinilah peran kita diuji: apakah kita hanya menyampaikan imbauan, atau benar-benar mendampinginya dengan contoh nyata?

Jangan dulu bicara soal pemanasan global atau emisi gas karbon deh. Itu terlalu jauh dari dunia sawah. Bicara saja dengan bahasa yang  sederhana bahwa jerami bisa menjadi kompos, bisa menjadi mulsa, bisa menekan biaya pupuk. Itulah logika yang langsung dapat dirasakan oleh petani.

Sahabat-sahabatku yang hebat,
Asap jerami yang mengepul hari ini memang menyelesaikan masalah cepat: lahan bersih seketika. Tetapi kalau kebiasaan ini dibiarkan terus-menerus, petani sendiri yang akan menanggung kerugian dalam jangka panjang. Dan kita, aparat pertanian akan ikut tercatat sebagai pihak yang gagal memberikan jalan keluar.

Mari kita jadikan curahan hati dari Kledung Kradenan ini sebagai cermin bersama. Mari kita lebih berani turun mendekat, lebih sabar mendampingi, dan lebih tekun menunjukkan alternatif yang nyata.

Sebab penyuluh sejati bukan hanya hadir disaat rapat, tetapi juga harus hadir dimomen ketika petani membutuhkan pegangan agar tidak terus-menerus membakar harapan mereka sendiri.

Salam lapangan,
— Refleksi dari Seorang Sahabat Petani

______________

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Magnet Kerinduan di Watuduwur: Sebuah Pertemuan Tak Terduga dengan Pak Dhani Harun

Ibu Ketua TP PKK Jateng borong produk KWT se Kecamatan Bruno

Keresahan yang Mencair di Aula B dan C: Petani Tembakau Akhirnya Bisa Tersenyum