Mengapa Ingkung Bebek

 


Mengapa Ingkung Bebek

Oleh : Sutoyo
___________

Purworejo, 2 September 2025— Sebuah pemandangan sederhana tapi  bersahaja dan tentunya sarat dengan makna tersaji ďalam rangkaian acara panen perdana tembakau di desa Gowong, Kec. Bruno. Dibawah tenda biru, para petani duduk  bersila berjajar melingkar rapih. 

Muh Fatah ketua Poktan Rukun Tani menyampaikan kata pembuka kemudian dilanjutkan dengan do'a yang dipandu oleb sesepuh Poktan Ky. Muh Sholeh dan dan diaminkan oleh semua yang hadir. Selesai do'a kini saatnya menyantap hidangan  nasi bersama lauk ingkung bebek

Bagi orang luar ini mungkin sekadar jamuan syukuran panen tembakau. Namun bagi petani Gowong momen ini adalah pertemuan simbolik dua guru kehidupan yakni bebek dan tembakau.

Dalam tradisi Jawa lazimnya ingkung menggunakan ayam kampung. Tetapi disini lain, masyarakat  ternyata memilih bebek dengan suatu alasan. Pilihan ini bukan kebetulan, melainkan berangkat dari filosofi yang mereka yakini.

Bebek adalah hewan yang tekun. Ia sabar mencari makan di lumpur, tidak tergesa-gesa, dan selalu bergerombol. Meski jalannya lambat ia pasti sampai tujuan.  Ciri-ciri inilah yang dilihat petani sebagai simbol teladan dalam usaha tani

“Hidup itu harus seperti bebek,” kata seorang petani sepuh di sela-sela syukuran. “Sabar, kompak, dan bisa menyesuaikan diri. Kalau musim kemarau panjang, tetap harus bertahan. Kalau harga jatuh, jangan putus asa. Kalau cuaca jelek, cari cara lain. Seperti bebek yang bisa berpindah tempat makan”.

Mengapa dimasak berbentuk ingkung, dan diposisikan seperti sedang sujud. Simbol ini melambangkan kepasrahan total kepada Tuhan. Sehebat apapun usaha petani, hasil panen tetap bergantung pada doa dan restu alam. Filosofi inilah yang membuat ingkung bebek lebih dari hanya sekadar lauk: ia adalah mengandung do'a yang bisa disantap bersama.

Jika bebek memberi teladan dalam laku hidup maka tembakau adalah ujian nyata tentang sebuah kesabaran. Menanam tembakau tidak sama dengan menanam sayur yang bisa dipanen mingguan. Tembakau butuh waktu berbulan-bulan, mulai dari olah lahan, pembibitan, penanaman, perawatan, pengendalian hama, hingga pemanenan daun satu per satu. Setelah itu pun masih ada proses yang panjang:  pelayuan, pemeraman/fermentasi, penyortiran, perajangan , penjemuran, penyimpanan.

Tanaman tembakau sangat bergantung pada cuaca. Sedikit saja hujan turun di musim kering, kualitas daun bisa berubah drastis. Begitu juga bila panas terlalu terik, daun bisa kering sebelum waktunya. Itulah sebabnya, setiap kali memasuki musim tanam, petani seperti berjudi dengan langit.

Namun justru disitulah letak pelajarannya. Tembakau melatih petani untuk tidak tergesa-gesa. Ia mengajarkan bahwa hasil besar hanya datang pada mereka yang bersabar, tekun, dan telaten. Sama seperti bebek, tembakau meminta kesetiaan penuh dari siapa pun yang ingin memeliharanya.

Syukuran panen dengan ingkung bebek adalah titik temu dua filosofi: bebek sebagai simbol laku, tembakau sebagai simbol laku tani.

Bebek mengajarkan cara hidup:

  • Sabar dalam langkah.
  • Ulet dalam mencari rezeki.
  • Kompak dalam kebersamaan.

Tembakau mengajarkan cara bertahan:

  • Telaten merawat tiap helai daun.
  • Tangguh menghadapi cuaca.
  • Tabah menunggu hasil.

Bagi petani Gowong keduanya sama-sama menjadi simbol guru alam. Satu lewat simbol makanan tradisi satu lewat pengalaman sehari-hari di ladang.

Ditengah arus modernisasi banyak yang melihat pertanian hanya dari sisi teknis: penggunaan pupuk, mekanisasi, atau akses pasar. Namun di desa seperti Gowong pertanian tetaplah sebuah ekosistem budaya.

Syukuran panen, doa bersama, dan ingkung bebek menunjukkan bahwa masyarakat tidak pernah memisahkan pangan dari makna. Bagi mereka, menanam adalah ibadah, dan panen adalah doa yang diwujudkan dalam rasa syukur.

Ketika Good Agricultural Practices (GAP) diperkenalkan lewat dana DBHCHT, masyarakat menerima dengan baik. Tapi mereka juga menambahkan Good Ancestral Practices—warisan leluhur yang menjaga agar pertanian tidak hanya mengejar hasil, melainkan juga nilai-nilai kehidupan.

Dari ladang Gowong kita dapat belajar bahwa dua hal sederhana—bebek dan tembakau—mampu menjadi guru kehidupan. Keduanya mengingatkan: hasil panen tidak pernah instan, begitu pula kebahagiaan. Semua butuh proses, ketekunan, dan kesabaran.

Maka dari itu setiap kali ingkung bebek disajikan ditengah syukuran panen masyarakat seolah sedang membaca kitab kehidupan: kitab kesabaran yang ditulis dengan lumpur, air hujan, dan do'a.

Panen perdana tembakau di Gowong tahun ini mungkin hanya mencakup sebagian kecil dari luas areal Purworejo. Namun makna yang lahir darinya jauh melampaui angka. Ia mengajarkan bahwa pertanian bukan sekadar produksi, melainkan juga laku budaya.

Dan disitulah letak kekuatan desa: selama masih ada bebek dan tembakau, petani akan selalu punya guru untuk belajar tentang sebuah arti kesabaran... wallohualam bishowab.

______________

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Magnet Kerinduan di Watuduwur: Sebuah Pertemuan Tak Terduga dengan Pak Dhani Harun

Ibu Ketua TP PKK Jateng borong produk KWT se Kecamatan Bruno

Keresahan yang Mencair di Aula B dan C: Petani Tembakau Akhirnya Bisa Tersenyum