Festival Gas dan Rem
Festival Gas dan Rem: Purworejo Agrofest 2025, Berharap tidak Sedang Belajar Jadi Sopir Ugal-ugalan
Hari ini Jum'at tanggal 26 September 2025 Purworejo Agrofest 2025 secara resmi dibuka di halaman kantor DKPP Kabupaten Purworejo. Menyusul hari Tani Nasional yang jatuh pada tanggal 24 September, Purworejo Agrofest 2025 tampil meriah, panggung gede, tenda-tenda berjejer, diiringi dengan musik yang terus mengalun, petani tembakau diundang, dipuji, bahkan disanjung. Tetapi di sudut yang lain, ada juga spanduk kampanye berhenti merokok, lengkap dengan brosur bahaya asap rokok. Dan seperti biasa Abu Waras hanya tersenyum miring sambil nyeletuk ciri khasnya :
“Iki festival opo latihan menjadi sopir ugal-ugalan? Gas diinjak, rem juga diinjak, koplinge kelalen. Mesin meraung, mobil goyang, penumpang bingung.”
Untuk itu mari kita renungkan bersama-sama memang benar adanya bahwa petani tembakau itu sosok pekerja keras. Mereka bangun tidur jauh sebelum matahari terbit hingga kemudian menyiram tanaman, merawat daun tembakau satu per satu, sampai tak dirasakan matahari telah membakar kulit mereka sehingga lebih hitam dari kopi pahit yang sering mereka teguk. Jadi ya wajar saja kalau diberikan apresiasi untuk menghargai jerih payahnya. Purworejo Agrofest pun datang seperti lampu sorot: “Wah, inilah pahlawan ekonomi lokal!”
Panggungnya megah, sambutannya manis, tepuk tangan pun bergema. Petani tembakau menjadi pusat perhatian. Seperti biasa Abu Waras pun mengangkat alis sambil bergumam :
“Iki kaya wong sugeng manten, disalami kabeh wong. Mung bedane nek manten iku jelas seneng sebab bakale arep urip bareng bojo. Lha petani mbako ? Uripe bareng karo kebijakan ndi lor ndi kidul.”
Disisi lain ada gerakan masif dan terstruktur tentang kampanye berhenti merokok. Rokok dianggap sebagai sumber penyakit, perusak paru-paru, penyumbang angka kematian dini. Spanduknya galak banget, posternya menyeramkan, lengkap dengan gambar paru-paru yang gosong.
Abu Waras pun lantas ketawa lirih :
“Iki kaya pesta duren disponsori oleh tukang obat maag. Siji nyenengke lhaa sijine medeni. Lha penontone kudu pilih sing endi?”
Gas disetel penuh: “Hidup petani tembakau!”
Rem diinjak kencang: “Matikan rokok!”
Hingga mobil kebijakan pun kelonjotan oleng ke kiri dan kekanan.
Nah ini dia wajah festival kita, disatu sisi tembakau menjadi ikon budaya dan ekonomi lokal. Disisi lain produk akhirnya (rokok) malah menjadi musuh negara. Maka festival ini pun berubah menjadi panggung paradoks: daun dirayakan, asap dimusuhi.
Abu Waras pun kembali nyeletuk :
“Iki kaya wong seneng mangan ayam goreng, tapi malah nyalahke pitik sing berkokok subuh-subuh.”
Apakah ini termasuk kategori munafik ? Tau ah gelap. Strategi politik dua kaki ? ya jangan tanya saya. Tetapi mungkin ingin mencari sensasi bagaimana rasanya nyopir dengan cara menginjak gas dan rem berbarengan.
Kalau dipikir-pikir kasihan juga nasib petani tembakau. Mereka ibarat anak mantu baru yang disayang oleh ibu mertua tetapi dicurigai oleh bapak mertua. Dirangkul di festival, tetapi disaat yang sama dicibir ditingkat kebijakan kesehatan. Mereka mendapatkan piala, memperoleh ucapan terima kasih, tetapi tetap saja dihantui oleh bayangan “rokok berbahaya bagi kesehatan.”
Abu Waras pun menyindir:
“Petani tembakau saiki nasibe kaya sandal jepit. Nek sedang dipakai ya dianggap hal yang penting, tapi nek wis rusak ya dibuwang. Padahal sandal jepit sing njaga sikilmu saka watu lan wedhi saben dina.”
Gas dan rem itu diciptakan untuk bergantian, bukan untuk bersamaan. Sopir yang waras pasti paham : kalau mau maju ya injak gas dan kalau mau berhenti ya direm. Kalau dua-duanya ditekan sekaligus? Bisa-bisa mesin jebol, ban bisa selip dan penumpang muntah-muntah.
Begitu juga dengan kebijakan. Mau mendukung petani tembakau? Ya haruslah jelas arahnya. Mau kampanye antirokok? Ya harus konsisten. Jangan sampai festival menjadi panggung pencitraan: senyum-senyum di depan petani, tetapi anggaran kesehatan diam-diam dinaikan untuk biaya perang melawan asap yang dihasilkan dari daun yang sama.
Abu Waras menutup dengan kalimat yang singkat namun nyelekit:
“Sopir ugal-ugalan ujung-ujunge mlebu bengkel. Nek pemerintah ugal-ugalan? Yo rakyat sing mlebu rumah sakit… karo petani sing mlebu jurang kebijakan.”
Purworejo Agrofest 2025 ini pada akhirnya bukan sekadar festival. Ia adalah cermin: bagaimana kita sering kali bangga sekaligus malu dengan hal yang sama. Tembakau dirayakan karena jasanya dibidang ekonomi, sebaliknya rokok dimusuhi karena dampaknya pada kesehatan. Gas dan rem terus ditekan bersamaan, dan mobil kebijakan terus meraung tanpa arah.
Pertanyaan sekarang adalah apakah kita mau menjadi sopir yang waras atau sopir yang ugal-ugalan.? .... wallohualam bishowab
______________

Komentar
Posting Komentar