Aral Tak Selalu Melintang
Aral Tak Selalu Melintang
(Membangun Positive Thinking dari Hambatan)
Ditengah percakapan sehari-hari kita sering mendengar orang mengeluh dengan kalimat, “Aduh, banyak aral melintang di jalan hidup ini.” Ungkapan itu begitu populernya sehingga seolah-olah kata “aral” hanya punya pasangan hidup bernama “melintang.” Padahal menurut KBBI kata aral itu artinya hambatan atau rintangan. “Melintang” hanyalah cara kita membayangkan rintangan itu seperti batang kayu ditengah jalan.
Nah masalahnya sejak kecil kita dicekoki bahwa kalau ada aral pasti sifatnya melintang. Jadinya pola pikir kita ikut terbentuk bahwa hambatan itu selalu buruk, harus disingkirkan, bikin susah, bikin gagal. Padahal kalau mau jujur, aral tak selalu melintang. Terkadang dia justru sejajar, kadang searah, kadang malah bikin kita belok ke jalan yang lebih aman.
Bayangkan jika kamu lagi jalan lurus, tiba-tiba ada jalan buntu. Perasaannya menjadi kesal bukan? Iya pasti. Jalan buntu itu memaksa kamu berhenti sejenak, lihat peta, lalu cari jalur lain. Kalau jalan itu nggak ditutup, bisa jadi kamu malah nyasar lebih jauh.
Begitu juga dengan hidup, ada pepatah bijak: “Kesulitan adalah guru yang paling jujur.” Guru biasanya ngajarin kita dengan kata-kata. Sementara aral ngajarin kita dengan rasa sakit atau nggak enak. Terkadang bikin nangis, kadang bikin kesel, tapi pastinya bikin kita belajar.
Didalam dunia psikologi fenomena aral biasa disebut dengan istilah resilience. Menurut Masten (2001), orang yang terbiasa menghadapi hambatan justru akan lebih tahan banting dibandingkan dengan yang hidupnya serba mulus. Sama halnya seperti otot, semakin sering dipakai ngangkat beban, maka akan semakin kuat dia. Jadi kalau otot nggak pernah dipakai, ya pastinya gampang kaget begitu disuruh kerja keras.
Disekolah pun kurang lebih sama. Siswa yang gagal ujian kadang dianggap bodoh. Padahal kegagalan itu guru yang lebih efektif dibandingkan dengan seribu nasihat guru di kelas. Dia bikin kita sadar: “Oh, caraku belajar itu masih salah. Besok harus merubah strategi cara belajar.”
Secara kamus istilah seperti ini memang nggak ada. Tetapi siapa bilang kita nggak boleh membikin istilah baru? Aral mujur adalah hambatan yang justru bikin kita beruntung.
Contoh sederhana misalkan kamu telat naik pesawat gara-gara macet. Keselnya bisa setengah mati. Tetapi ternyata baru ketahuan bahwa pesawat itu kena masalah di udara. Hambatan kecil itu justru nyelametin nyawa bukan..?. Kalau dipikir-pikir aral nggak selalu menjadi musuh. Kadang dia malah menjadi pelindung yang menyamar.
Thomas Edison juga mempunyai cerita yang mirip. Banyangkan ribuan kali gagal bikin lampu pijar, orang lain mungkin sudah nyerah. Tetapi Edison bilang, “Saya tidak gagal seribu kali. Saya cuma menemukan seribu cara yang tidak berhasil.” nah loh...buat dia aral itu mujur, karena setiap gagal jadi satu langkah lebih dekat ke keberhasilan.
Positive Thinking: Seni Mengubah Hambatan Menjadi Peluang
Martin Seligman, bapaknya positive psychology, pernah bilang bahwa kebahagiaan itu datang dari cara kita memandang kesulitan (Seligman, 2006). Kalau kita melihat hambatan sebagai musuh, maka pasti kita akan stres sendiri. Sebaliknya kalau kita melihat hambatan sebagai pelajaran maka kita bisa akan lebih kuat.
Beberapa trik sederhana biar nggak kalah sama aral:
-
Reframe masalah. Ubah cara pandang. Bukan “Kenapa hambatan ini muncul?”, tapi “Apa yang bisa aku pelajari dari hambatan ini?”
-
Fokus ke solusi. Energi ngedumel bisa dipakai mikir jalan keluar.
-
Belajar dari gagal. Catat apa yang salah, perbaiki, dan coba lagi.
-
Bersyukur. Riset Emmons & McCullough (2003) nunjukin bahwa orang yang rajin bersyukur hidupnya lebih bahagia, meski sering ketemu masalah.
Intinya dengan positive thinking, aral bukan lagi sebagai batu sandungan, melainkan bisa jadi batu pijakan untuk naik ke level yang lebih tinggi.
Selain “aral mujur,” mari kita mencoba bikin istilah lain yakni aral lurus. Hambatan yang justru bikin kita balik ke jalan yang benar.
Misalnya ada anak muda gagal karier di kota. Frustrasi dan akhirnya pulang kampung. Ternyata di desa dia bikin usaha yang lebih cocok, dekat keluarga, dekat alam. Hambatan di kota bikin dia lurus ke arah yang lebih membahagiakan.
Aral lurus mengingatkan kita bahwa tidak semua jalan terbuka itu benar, dan tidak semua jalan buntu itu salah. Kadang justru jalan buntu itulah yang mengantar ke pintu yang lebih tepat.
Hidup tanpa hambatan? Mungkin berasa indah kalau disebuah novel, tetapi mustahil di dunia nyata. Aral akan selalu ada baik kecil maupun besar. Pertanyaannya bukan bagaimana menghindari aral, tapi bagaimana bersahabat dengannya.
Kalau kita mampu melihat aral dengan kacamata positif, setiap kegagalan bisa menjadi pelajaran, setiap penundaan bisa jadi penyelamatan, setiap masalah bisa jadi peluang. Jadi, lain kali jangan buru-buru bilang “aral melintang.” Ingat, aral tak selalu melintang. Kadang dia mujur, kadang dia lurus, dan selalu ada hikmah di balik kehadirannya.
Aral itu bukan sekadar musuh di perjalanan. Ia justru bagian dari perjalanan itu sendiri.
Referensi
-
Emmons, R. A., & McCullough, M. E. (2003). Counting blessings versus burdens: An experimental investigation of gratitude and subjective well-being in daily life. Journal of Personality and Social Psychology, 84(2), 377–389.
-
Masten, A. S. (2001). Ordinary magic: Resilience processes in development. American Psychologist, 56(3), 227–238.
-
Seligman, M. E. P. (2006). Learned Optimism: How to Change Your Mind and Your Life. Vintage.
-
KBBI Daring. (2024). Aral. Badan Bahasa, Kemendikbud.

Komentar
Posting Komentar