Tumpeng Non-Beras: Kreativitas, Filosofi, dan Pesan Ketahanan Pangan dari Desa Plipiran

Tumpeng Non-Beras: Kreativitas, Filosofi, dan Pesan Ketahanan Pangan dari Desa Plipiran

Oleh : Sutoyo  (PPL desa Plipiran, Kecamatan Bruno, Kabupaten Purworejo, Jawa-Tengah)

_______________________

Plipiran, Bruno – Ada pemandangan unik di Balai Desa Plipiran pada Jumat, 22 Agustus 2025. Dalam rangka memperingati HUT RI ke-80, TP PKK Desa Plipiran menyelenggarakan lomba tumpeng non-beras. Sebanyak 14 peserta masing-masing mewakili RT di Desa Plipiran ikut ambil bagian dengan membawa kreasi terbaik mereka.

Dari seluruh peserta tumpeng nomor 11 berhasil menyabet juara pertama dengan kreasi yang bukan hanya indah secara visual, tetapi juga sarat makna filosofis dan pesan kuat tentang kemandirian pangan.

Dalam tradisi Jawa tumpeng selalu identik dengan gunungan berbentuk kerucut. Filosofinya adalah penggambaran hubungan manusia dengan Sang Pencipta: semakin tinggi puncak tumpeng semakin mengerucut pada satu titik yakni Tuhan Yang Maha Esa. Hidangan yang mengelilinginya melambangkan harmoni kehidupan: ada manis, gurih, pedas, hingga pahit—sebuah refleksi bahwa hidup penuh warna dan oleh karena itu sudah selayaknya wajib untuk disyukuri.

Menariknya jika biasanya tumpeng terbuat dari nasi putih, kuning, atau uduk, namun kali ini Desa Plipiran menghadirkan inovasi baru: tumpeng tanpa beras. Inilah yang membuatnya istimewa sekaligus kontekstual dengan isu ketahanan pangan hari ini.

Tumpeng juara 1 yang ditampilkan pada lomba ini benar-benar memanfaatkan potensi lokal. Gunungan utama terbuat dari singkong yang diolah menjadi beragam kudapan manis dan gurih. Ada dadar gulung singkong, kroket ubi ungu, hingga lilin talas. Hiasan-hiasan bunga pun bukan sekadar dari bahan plastik atau ornamen palsu, melainkan ukiran sayur dan buah hasil kreasi dari tangan ibu-ibu PKK.

Disampingnya tertata indah jajanan tradisional juga berbahan pangan lokal: klepon, lapis, hingga puding ubi. Semua tersaji dalam harmoni warna yang bukan hanya menggoda lidah tetapi juga menyuarakan pesan sederhana: Indonesia benar-benar kaya akan sumber bahanpangan alternatif tidak hanya beras.

Sudah barang tentu yang membuat acara ini semakin semarak adalah keterlibatan seluruh RT di Desa Plipiran. Setiap RT mengirimkan perwakilannya sehingga bukan hanya soal lomba tetapi juga ajang silaturahmi, unjuk kreativitas, sekaligus saling belajar. Dibalik satu tumpeng ada kerja sama: ibu-ibu PKK yang memasak, bapak-bapak yang membantu logistik, hingga anak-anak yang ikut menyemangati.

Inilah wajah sejati peringatan kemerdekaan di desa: guyub, rukun, dan penuh gotong royong.

Mengapa lomba ini menjadi  penting? Karena ditengah isu krisis pangan global desa-desa seperti Plipiran justru sedang mengirim pesan kuat: pangan tidak harus beras. Ketergantungan pada beras selama ini membuat bangsa kita rawan krisis padahal alam Nusantara menyediakan beragam karbohidrat alternatif—singkong, ubi, jagung, talas—yang tak kalah bergizi.

Dengan demikian ketahanan pangan bukan hanya soal cadangan beras di gudang Bulog, tetapi juga kemampuan masyarakat mengolah, menghargai, dan melestarikan pangan lokal.

Juga tidak kalah penting ajang ini menunjukkan bagaimana peran perempuan desa menjadi garda terdepan dalam menguatkan ketahanan pangan. Melalui kreativitas dapur mereka bukan hanya memberi makan keluarga tetapi juga menjaga keberlanjutan pangan. PKK Desa Plipiran memberi contoh bahwa dapur bisa menjadi laboratorium kecil bagi inovasi pangan yang berdampak besar.

Kemenangan tumpeng non-beras ini sejatinya adalah kemenangan sebuah gagasan: bahwa bangsa ini sesungguhnya mampu merdeka pangan, mandiri pangan, bahkan berdaulat pangan bila mau kembali kepada kearifan lokal. Jika setiap desa mampu menumbuhkan kebanggaan pada pangan non-beras maka Indonesia tak akan lagi goyah saat harga beras melonjak atau impor menjadi pilihan cepat pemerintah.

Dari Desa Plipiran, Kecamatan Bruno, Kabupaten Purworejo tersiar pesan sederhana namun mendalam: kemerdekaan sejati bukan hanya bebas dari penjajah, tetapi juga merdeka dalam urusan pangan.

_______________________


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Magnet Kerinduan di Watuduwur: Sebuah Pertemuan Tak Terduga dengan Pak Dhani Harun

Ibu Ketua TP PKK Jateng borong produk KWT se Kecamatan Bruno

Keresahan yang Mencair di Aula B dan C: Petani Tembakau Akhirnya Bisa Tersenyum