Tumpeng: Gunungan Syukur dari Meja Kenduri Desa hingga Filosofi Ketahanan Pangan

Tumpeng: Gunungan Syukur dari Meja Kenduri Desa hingga Filosofi Ketahanan Pangan

Oleh : Sutoyo
____________________

Dibanyak perayaan di Indonesia mulai dari ulang tahun, hajatan desa, sampai dengan peringatan hari kemerdekaan tumpeng selalu punya tempat istimewa di meja hidangan. Nasi berbentuk kerucut yang dikelilingi dengan lauk-pauk warna-warni ini bukan sekadar soal rasa atau estetika. Ia adalah gunungan  syukur, warisan leluhur, sekaligus cermin bagaimana kita memandang hubungan antara manusia, alam, dan pangan.

Tradisi tumpeng diyakini lahir dari budaya agraris Nusantara yang memuliakan gunung sebagai sumber kehidupan. Dalam kepercayaan Hindu–Buddha di Jawa, bentuk kerucut tumpeng merepresentasikan Gunung Mahameru—pusat alam semesta dan tempat para dewa bersemayam (id.wikipedia.org). Ketika Islam masuk kemudian  makna tumpeng menyesuaikan: puncak yang menjulang ke langit diartikan sebagai doa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, sementara lauk-pauk di sekelilingnya adalah simbol keberagaman rezeki (fimela.com).

Tumpeng pun merantau dari Jawa ke berbagai daerah dengan adaptasi lokalnya. Di Bali nasi tumpeng hadir dalam ritual keagamaan; di Madura bentuknya lebih sederhana; di Betawi ia mewarnai pesta pernikahan atau sunatan.

Bentuk kerucut tumpeng melambangkan keagungan Tuhan dan harapan agar manusia terus “meninggikan” budi pekerti (atb-bandung.ac.id). Warna nasi pun punya makna: kuning melambangkan kemakmuran, putih kesucian. Lauk-pauk di sekelilingnya membentuk narasi ekosistem kehidupan: sayuran hijau untuk kesuburan, ayam ingkung untuk ketulusan, telur utuh untuk awal kehidupan, dan lauk laut untuk keseimbangan alam.

Bahkan jumlah lauk sering kali tujuh, sebab dalam bahasa Jawa pitu berarti “pitulungan” atau pertolongan (id.wikipedia.org).

Lomba Tumpeng di Desa Pakisarum: Kreativitas, Gizi, dan Kebersamaan

Di Desa Pakisarum, Kecamatan Bruno, Kabupaten Purworejo, tumpeng bukan hanya hadir di meja kenduri tetapi menjadi ajang adu kreasi menjelang peringatan 17 Agustus. Lomba ini diadakan oleh PKK Desa Pakisarum yang diketuai Ibu Geovani, diikuti 8 peserta dari 8 RW, masing-masing beranggotakan lima orang.

Aturannya jelas: biaya pembuatan tumpeng antara Rp250–300 ribu, tema kemerdekaan, penilaian kreasi dan inovasi penataan, cita rasa, serta kelengkapan gizi (karbohidrat, protein nabati dan hewani, sayur, buah). Disela lomba tumpeng ada juga lomba minuman lokal—yang dimenangkan wedang jahe sereh gula aren, hangat dan wangi, cocok untuk malam di pegunungan Bruno.

RW 5 Dusun Kalolaos keluar sebagai juara tumpeng, sementara minuman juara dan tumpeng terbaik rencananya akan disajikan di malam tasyakuran desa. Namun atas usulan bijak pembina PKK  Kecamatan Bruno Ibu Martina Dewi : agar setiap RW tetap menyiapkan konsumsi untuk malam itu, bukan hanya pemenang. Seperti kata TP PKK desa Pakisarum  Ibu Geovani , “Biar semua ikut berkiprah. Namanya juga merayakan kemerdekaan, ya harus merdeka rasa kebersamaannya.”

Meskipun kini identik dengan beras putih atau kuning, tumpeng sejatinya bisa dibuat dari beras merah, jagung tumbuk, atau singkong/tiwul—tergantung pada sumber pangan lokal. Ragam bahan ini mencerminkan diversifikasi pangan, yang penting untuk ketahanan pangan: mengurangi ketergantungan pada satu komoditas dan memanfaatkan potensi daerah (lidyafitrian.com).

Dari Meja Kenduri ke Kebijakan Nasional

Konsep Tumpeng Gizi Seimbang dari Kementerian Kesehatan meminjam filosofi tumpeng untuk mengajarkan pola makan ideal—karbohidrat di dasar, sayur dan buah diporsi besar, lauk-pauk berprotein dilapisan berikutnya, dan gula-garam-minyak di puncak (kemkes.go.id).

Dengan aturan gizi dan kreativitas yang ketat, lomba tumpeng Desa Pakisarum sejatinya adalah praktik nyata dari prinsip ini: pangan yang tersedia, terjangkau, beragam, dan melibatkan partisipasi seluruh warga. Filosofi tumpeng—syukur, kebersamaan, dan keberagaman—terasa utuh ketika seluruh RW dilibatkan dalam hidangan kemerdekaan.

____________________

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Magnet Kerinduan di Watuduwur: Sebuah Pertemuan Tak Terduga dengan Pak Dhani Harun

Ibu Ketua TP PKK Jateng borong produk KWT se Kecamatan Bruno

Keresahan yang Mencair di Aula B dan C: Petani Tembakau Akhirnya Bisa Tersenyum