Semar Mbangun Kayangan: Suara Rakyat dari Panggung Wayang di HUT RI ke-80
Semar Mbangun Kayangan: Suara Rakyat dari Panggung Wayang di HUT RI ke-80
Bruno, Purworejo, Sabtu 23 Agustus 2025 — Malam penutupan peringatan HUT RI ke-80 di Kecamatan Bruno berlangsung berbeda. Jika dibanyak tempat pesta rakyat diakhiri dengan dangdut atau kembang api, warga Bruno memilih jalan lain yakni sebuah pegelaran wayang kulit dengan lakon Semar Mbangun Kayangan.
Lebih istimewa lagi dalang yang memimpin adalah seorang perempuan: Nyi Dwi Puspitaningrum, S.Pd., M.Pd. Kehadirannya bukan hanya menegaskan bahwa seni pedalangan tak melulu milik kaum pria tetapi juga menghadirkan perspektif baru dengan nuansa kelembutan, kecerdasan, sekaligus kritik sosial yang membumi.
Semar Mbangun Kayangan bukanlah lakon pakem melainkan carangan ciptaan dalang dari tanah Jawa. Cerita ini mengisahkan Semar seorang tokoh punakawan yang biasanya hanya pengasuh Pandawa yang tiba-tiba mampu membangun kayangan. Aneh tapi nyata kayangan buatan Semar ternyata jauh lebih adil, tenteram, dan makmur daripada kayangan asli para dewa.
Pesannya cukup jelas bahwa rakyat kecil dengan kesederhanaannya mampu menciptakan tatanan hidup yang lebih manusiawi dibandingkan dengan penguasa yang sibuk dengan intrik.
Dipanggung wayang malam ini lakonnya menjadi terasa begitu aktual. Seakan-akan Semar sedang berbicara langsung pada Indonesia yang berusia 80 tahun mengapa negeri yang katanya merdeka tetapi masih bergulat dengan rasa keadilan yang sering terasa makin jauh panggang dari api.
Memang tak bisa dipungkiri suasana batin masyarakat jelang HUT RI ke-80 penuh dengan kegelisahan. Demonstrasi menolak kenaikan pajak yang dianggap tak wajar merebak diberbagai kota. Kasus-kasus korupsi besar masih menyisakan tanda tanya, mengapa tuntasnya selalu berhenti di pinggiran, bukan menyentuh akar?
Dalam konteks itulah kehadiran Semar di panggung wayang menjadi simbol rakyat bahwa sederhana, jujur, dan tulus namun tetap berani menyindir “kayangan” para dewa alias para penguasa.
Kehadiran Nyi Dwi Puspitaningrum juga menambah bobot peristiwa ini. Sebagai dalang perempuan ia bukan hanya sebagai pewarta budaya tetapi juga penafsir zaman. Dalam sabetan suluk, dan catur yang ia bawakan terasa ada kepekaan yang mengaitkan dunia pewayangan dengan realitas sosial.
Ditengah hiruk pikuk perpolitikan nasional suara perempuan dalang dari Bruno ini menyelipkan pesan bahwa keadilan bukanlah milik elit, tetapi hak semua orang dan kebenaran bukan monopoli penguasa, tetapi suara hati nurani rakyat.
Wayang kulit sejak jaman dulu memang berfungsi sebagai “media massa tradisional”: menghibur sekaligus mengkritik. Ketika lakon Semar Mbangun Kayangan dipilih untuk menutup rangkaian perayaan kemerdekaan disebuah kecamatan kecil di Purworejo, ada pesan simbolis yang kuat bahwa rakyat ingin merayakan kemerdekaan dengan refleksi, bukan sekadar pesta.
Bahwa dibalik meriahnya karnaval dan lomba tujuhbelasan ada keresahan tentang pajak, korupsi, dan rasa keadilan yang tak kunjung hadir. Bahwa dibalik gegap gempita kehidupan berbangsa rakyat sebenarnya tengah membayangkan “kayangan” mereka sendiri yaitu Indonesia yang benar-benar adil, makmur, dan beradab.
Dengan demikian malam penutupan HUT RI ke-80 di Bruno bukan hanya pertunjukan seni tetapi juga pernyataan politik yang halus. Semar lewat tangan seorang dalang perempuan mengingatkan kita bahwa kemerdekaan harus diisi dengan keadilan—bukan sekadar seremonial.....wallohualam bishowab.
______________

Komentar
Posting Komentar