Pisang Sebrot, Lubuk, atau Ambon Belitung? Satu Buah, Banyak Nama, Banyak Makna

Pisang Sebrot, Lubuk, atau Ambon Belitung? Satu Buah, Banyak Nama, Banyak Makna

Oleh : Sutoyo
______________

Bruno, Purworejo, Jum'at 29 Agustus 2025_ Tidak semua buah punya kisah seunik buah pisang. Disatu desa ia dipanggil “Sebrot”, di desa lain disebut “Lubuk”, sementara di Wonosobo dikenal sebagai pisang “Ambon Belitung”. Nama boleh berbeda-beda tetapi rasa dan pesonanya tetaplah menggoda : manis, harum, lembut, dan tanpa biji. Pisang yang ini ternyata bukan sekadar buah pisang pada umunya tetapi bagian dari kearifan lokal yang menyeberangi batas wilayah dan tradisi.

Di Kecamatan Kemiri pisang Sebrot konon sering menjadi suguhan utama dalam suatu hajatan istimewa. Di Bruno, pisang Lubuk punya tempat tersendiri di hati masyarakat, sementara di Wonosobo, sebutan Ambon Belitung kerap hadir dalam pasar tradisional. Uniknya dibeberapa daerah pisang ini tidak hanya sekadar pangan sehari-hari, tapi juga menjadi simbol penting dalam acata ritual. Misalnya ketika momen Mauludan tiba pisang ini bisa naik harga secara drastis hingga Rp80 ribu per sisir, karena dianggap wajib hadir dalam sesaji atau jamuan. Namun diluar momen khusus harganya kembali normal layaknya pisang lain di pasaran.

Kisah ini menunjukkan bahwa buah pisang bukan hanya soal gizi, tapi juga soal makna budaya. Ada filosofi yang tersimpan bahwa setiap daerah memberi “nama” sekaligus “harga” sesuai dengan nilai yang ditanamkan oleh masyarakatnya.

Pisang Sebrot–Lubuk–Ambon Belitung ini bisa diolah menjadi berbagai produk olahan pangan. Tidak hanya dimakan langsung tetapi bisa dijadikan Sale pisang dengan aroma khas yang lebih wangi dibandingkan dengan pisang  jenis lain.

  • Keripik pisang dengan rasa manis alami.
  • Pisang rebus/pepes yang sehat tanpa tambahan gula.
  • Olahan modern seperti bolu, muffin, atau es krim berbahan pisang.

Inilah contoh nyata diversifikasi pangan: satu komoditas bisa mendukung ketahanan pangan rumah tangga dengan ragam bentuk konsumsi, dari camilan sampai dengan bahan dasar kuliner.

Sayangnya sering kali ketahanan pangan hanya dipahami sebatas ketersediaan beras. Padahal bahan pangan lokal seperti pisang bisa menjadi sumber energi, vitamin, dan serat yang luar biasa. Pisang ini mampu menggantikan nasi dalam beberapa konteks terutama ketika dikombinasikan dengan bahan pangan lokal lainnya.

Dalam konteks desa menanam pisang berarti menanam kedaulatan. Tidak perlu menunggu impor gandum atau tepung karena pisang bisa tumbuh di pekarangan, cepat berbuah, dan hasilnya melimpah. Bayangkan jika setiap rumah memiliki beberapa rumpun pisang, maka cadangan pangan alternatif masyarakat akan selalu tersedia.

Perbedaan nama—Sebrot, Lubuk, Ambon Belitung—justru memperkaya identitas lokal. Dari sini kita belajar bahwa pangan bukan sekadar soal rasa, tetapi juga cerita, tradisi, bahkan identitas budaya. Inilah yang membuat pisang bukan hanya buah meja, tapi juga buah sejarah.

Dengan begitu maka upaya menjaga pisang ini tetap lestari berarti ikut menjaga kearifan lokal, memperkuat diversifikasi pangan, sekaligus memperkokoh ketahanan pangan nasional.

“Kalau satu buah saja bisa punya banyak nama dan banyak makna, bukankah seharusnya kita juga bisa memberi ruang lebih luas bagi pangan lokal untuk menjaga perut dan budaya bangsa?”

______________

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Magnet Kerinduan di Watuduwur: Sebuah Pertemuan Tak Terduga dengan Pak Dhani Harun

Ibu Ketua TP PKK Jateng borong produk KWT se Kecamatan Bruno

Keresahan yang Mencair di Aula B dan C: Petani Tembakau Akhirnya Bisa Tersenyum