Membangun Ekosistem Usaha BUMDes: Dari SDM, SDA, hingga Kelembagaan Desa

 

Membangun Ekosistem Usaha BUMDes: Dari SDM, SDA, hingga Kelembagaan Desa

Oleh : Sutoyo
_____________________

BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) telah menjadi salah satu instrumen penting dalam pembangunan desa pasca lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Hampir semua desa kini memiliki BUMDes, tetapi faktanya tidak semua dapat berjalan efektif. Bahkan keberadaanya  hanya sekadar berdiri di atas kertas, ada yang bertahan sebentar lalu mati suri, namun ada juga yang berkembang pesat hingga menjadi contoh nasional.

Perbedaan ini terletak pada cara pandang bagaimana bumdes sejak awal didisain dengan konsep yang tepat. Banyak yang masih memposisikan BUMDes sebagai “unit usaha tunggal”, padahal BUMDes yang ideal adalah sebuah ekosistem ekonomi desa. Ekosistem inilah yang menghubungkan SDM (Sumber Daya Manusia), SDA (Sumber Daya Alam), dan kelembagaan desa sehingga saling menguatkan dan berkelanjutan.

BUMDes bukan sekadar berdagang sembako, membuka jasa simpan pinjam, atau menyewakan alat pertanian. Lebih dari itu ia harus menjadi wadah yang menghubungkan potensi lokal dalam satu kesatuan yang hidup.

Bayangkan tubuh manusia: SDA adalah “jantung” yang memompa sumber kehidupan, SDM adalah “darah” yang menggerakkan, dan kelembagaan adalah “otak” yang mengatur arah tujuan. Tanpa salah satunya, tubuh tidak dapat berfungsi dengan baik. Begitu pula dengan BUMDes: usaha baru bisa bertahan lama jika ketiga unsur ini berjalan dengan serasi.

Modal terbesar desa bukanlah uang, melainkan manusianya. Pemuda desa yang kreatif, petani yang tekun, hingga ibu-ibu KWT yang ulet—semua adalah energi ekonomi.

Sebagai ilustrasi misalnya pemuda desa memanfaatkan media sosial untuk memasarkan produk lokal, dari madu klanceng hingga kopi desa. Ibu-ibu KWT mengolah hasil samping pertanian menjadi produk kemasan. Sementara itu, para petani menjaga kualitas produksi utama. Pola pembagian peran ini menunjukkan bahwa SDM desa bukan hanya objek, tetapi subjek yang menggerakkan BUMDes.

Setiap desa memiliki kekayaan alam. Namun sayangnya masih banyak yang dijual dalam bentuk mentah. Padahal jika diolah nilai ekonominya bisa berlipat ganda. Ambil contoh Desa Pandanlandung, Malang. Desa ini mengolah limbah pertanian dan peternakan menjadi pupuk organik. Hasilnya tidak hanya memenuhi kebutuhan petani lokal, tetapi juga dipasarkan keluar desa. SDA yang sebelumnya dianggap sampah, kini berubah menjadi sumber pendapatan baru [Kementerian Desa PDTT, 2022]. Hal ini menunjukkan bahwa SDA bukan sekadar bahan baku, tetapi harta karun yang menunggu sentuhan inovasi.

Kelembagaan BUMDes adalah faktor penentu. Struktur organisasi yang jelas, transparansi keuangan, dan mekanisme pembagian hasil yang adil akan menjaga kepercayaan warga. BUMDes Tirta Mandiri, Ponggok (Klaten) adalah contoh bumdes yang sukses. Dengan kelembagaan yang solid, mereka mampu mengelola wisata air Umbul Ponggok hingga beromset miliaran rupiah per tahun. Tidak hanya itu, keuntungan disalurkan kembali untuk pembangunan desa, pendidikan, hingga santunan sosial [Kompas, 2018]. Sebaliknya banyak BUMDes macet bukan karena usaha tidak laku, tetapi karena pengelola tidak transparan. Inilah bukti bahwa kelembagaan adalah “otak” yang menentukan arah ekosistem.

Ekosistem usaha BUMDes bekerja seperti rantai yang saling terhubung.

  • Petani menghasilkan bahan baku (padi, tembakau, jagung, kelapa).
  • Limbahnya diolah menjadi pupuk organik.
  • Sebagian hasil diolah ibu-ibu menjadi produk kemasan.
  • Pemuda memasarkan lewat marketplace dan media sosial.
  • BUMDes mengelola toko desa, transportasi hasil panen, hingga homestay wisata.
  • Unit simpan pinjam menjaga perputaran modal dan stabilitas harga.

Jika satu rantai lemah, rantai lain menopang. Inilah yang membuat ekosistem lebih tahan lama dibanding usaha tunggal.

BUMDes tidak dapat hidup sendiri. Pemerintah desa membuat regulasi, dinas terkait memberikan dukungan teknis, perguruan tinggi membantu riset dan pendampingan, sedangkan sektor swasta hadir menjadi offtaker atau investor.

Contohnya, BUMDes Pujonkidul (Malang) berhasil mengembangkan Café Sawah sebagai destinasi wisata agro. Keberhasilan ini tidak lepas dari dukungan pemerintah daerah, promosi digital oleh komunitas, serta kolaborasi dengan investor lokal [Tempo, 2019].

Ekosistem usaha BUMDes tidak lahir seketika. Ia tumbuh bertahap:

  1. Jangka pendek: membuka unit usaha dasar (toko desa, sewa alat pertanian, jasa air bersih).
  2. Jangka menengah: mengolah produk lokal menjadi bernilai tambah (beras organik, minyak kelapa, pupuk organik).
  3. Jangka panjang: membangun brand desa, membuka ekowisata, hingga menembus pasar nasional.

Kuncinya bukan banyaknya unit usaha, melainkan keterhubungan antar unit yang menciptakan keberlanjutan.

Ekosistem BUMDes adalah masa depan ekonomi desa. Ia bukan sekadar papan nama atau usaha tunggal, melainkan jaringan hidup yang menghubungkan SDM, SDA, kelembagaan, dan mitra strategis. Seperti Ponggok dengan wisata airnya, Pujonkidul dengan Café Sawahnya, atau Pandanlandung dengan pupuk organiknya—setiap desa punya jalan sendiri. Yang penting bukan meniru persis, tetapi membangun ekosistem yang sesuai dengan potensi lokal.

Dengan ekosistem yang sehat, BUMDes akan benar-benar menjadi jantung ekonomi desa yang berdetak lama, menyalurkan manfaat bagi seluruh warganya.

 _________________

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Magnet Kerinduan di Watuduwur: Sebuah Pertemuan Tak Terduga dengan Pak Dhani Harun

Ibu Ketua TP PKK Jateng borong produk KWT se Kecamatan Bruno

Keresahan yang Mencair di Aula B dan C: Petani Tembakau Akhirnya Bisa Tersenyum