Gulma Jadi Camilan
Gulma Jadi Camilan
Oleh : Sutoyo
_______________
“Menanam padi, rumput ikut tumbuh”, begitu bunyi pribahasa lama yang masih sering diucapkan oleh orang-orang tua kita. Pribahasa itu memang menggambarkan kenyataan bahwa setiap usaha apapun hampir pasti ada hal lain yang suka atau tidak suka tak terduga ikut menyertai. Demikian halnya kebun demplot milik KWT Arumsari desa Blimbing, Kecamatan Bruno menanam sayuran, eh bayam liar ikut juga tumbuh dengan suburnya.
Bayam ini tidak ditanam dengan niat. Ia muncul begitu saja tumbuh liar di sela cabai, terong, dan kacang panjang. Kadang di pojok pekarangan, kadang di pematang, kadang di sela-sela bedengan yang sudah penuh dengan tanaman utama.
Bagi sebagian petani bayam liar itu hanyalah gulma yang merebut nutrisi. Mereka dengan sigap mencabutnya, membuangnya, dan menganggapnya pengganggu. Tapi bagi ibu-ibu rumah tangga, bayam liar justru sering jadi penyelamat: gratis, tinggal petik, bisa langsung dimasak sayur bening untuk makan siang keluarga.
Uniknya kadang bayam hasil budidaya malah kalah pamor. Ada beberapa alasan kenapa bayam sayur kurang diminati. Pertama, hampir setiap rumah sudah punya bayam liar—jadi orang enggan membeli. Kedua, ada anggapan setelah makan bayam badan terasa pegal, khususnya di bagian punggung (boyok pegel). Entah ini sugesti, mitos, atau ada faktor lain, tapi kabar itu sudah telanjur menyebar dimasyarakat. Ketiga, bayam melimpah dimana-mana, sehingga orang lama-lama bosan juga.
Bayangkan tanaman yang tumbuh subur dengan sendirinya, malah dianggap gulma sekaligus membosankan. Tetapi di balik kesederhanaan itu, justru tersimpan peluang.
Cerita menarik datang dari Kelompok Wanita Tani (KWT) Arum Sari di Desa Blimbing. Saat musim kemarau seperti sekarang ini, hasil panen di demplot P2L menurun. Air susah, sayuran meranggas, semangat pun jadi agak goyah. Tapi di antara tanaman yang lemas karena kekurangan siraman, bayam liar justru tetap segar, hijau, dan tegak.
Di gubuk markas KWT yang berdiri di pinggir lahan, beberapa ibu duduk berkeluh-kesah soal turunnya hasil panen. Tanpa diduga Martina Dewi seorang penyuluh pertanian lapangan (PPL) pendamping datang membawa kompor kecil dan wajan.
“Saya tahu bayamnya lebih subur kan ? Ayo kita coba digoreng jadi camilan peyek?” celetuknya sambil menyiapkan bahan-bahan yang sederhana.
Awalnya ibu-ibu KWT hanya tertawa. Mana mungkin gulma jadi camilan? Tapi rasa penasaran mengalahkan keraguan. Mereka pun memetik bayam liar, mencampurnya dengan adonan tepung berbumbu, lalu memasukkannya ke wajan berisi minyak panas.
“Sreeeeng…” bunyi renyah terdengar. Aroma bawang putih, ketumbar, dan daun bayam yang terendam minyak mendadak menguar memenuhi gubuk sederhana itu.
“Wah, harumnya… bikin lapar,” komentar Bu ketua KWT, sambil tersenyum.
Tak lama peyek bayam pertama jadi. Hangat, renyah, dan gurih, semua yang ada di gubuk berebut mencicipi. Hasilnya? Bikin ketagihan.
Bayam yang tadinya hanya dianggap pengganggu tanaman utama, kini naik kelas. Dari sekadar sayur murah, berubah jadi camilan berharga. Peyek bayam 100 gram laku dijual Rp15 ribu. Bandingkan dengan bayam mentah yang mungkin hanya dihargai seribu-dua ribu rupiah per ikat.
Perubahan nilai ini bukan hanya soal harga, tapi juga cara pandang. Gulma yang dulu dicabut dan dibuang, kini bisa memberi tambahan pendapatan bagi kelompok. Anak-anak yang biasanya ogah makan sayur, kini bisa menikmati bayam dalam bentuk camilan gurih. Orang dewasa pun tak keberatan ngemil peyek bayam sambil minum teh atau kopi.
“Kalau ada acara kumpul, ini bisa jadi suguhan khas KWT. Nggak malu-maluin, malah unik,” kata salah satu anggota KWT sambil tertawa.
Bagi KWT Arum Sari, peyek bayam bukan hanya soal makanan. Ia adalah simbol kreativitas ditengah keterbatasan. Saat sayuran lain melemah karena kekurangan air, bayam liar justru menyodorkan diri sebagai sumber inspirasi.
Inovasi ini juga menunjukkan bahwa ide besar tidak selalu datang dari tempat mewah atau modal besar. Kadang, ide lahir dari gubuk sederhana, dari obrolan ringan, dari wajan dan kompor kecil. Dari situlah lahir peluang baru.
Bayam yang dianggap gulma kini punya cerita lain: ia menjadi penyelamat saat panen menurun, sekaligus menambah semangat ibu-ibu untuk terus berkreasi.
Peyek bayam memang baru tahap uji coba di gubuk KWT. Tapi peluangnya menjanjikan. Dengan kemasan menarik, peyek bayam bisa masuk pasar lokal, bahkan toko oleh-oleh. Apalagi tren camilan sehat semakin diminati. Bayam kaya zat besi dan vitamin, sehingga bisa diposisikan sebagai camilan sehat sekaligus gurih.
Bayangkan suatu hari nanti peyek bayam berlabel “Produk KWT Arum Sari” bisa mejeng di etalase minimarket desa, atau jadi buah tangan khas Kecamatan Bruno. Itu bukan hal mustahil, asal ada keberanian untuk terus melangkah.
Dari kisah sederhana ini, ada pelajaran berharga: jangan remehkan hal kecil. Sesuatu yang dianggap gulma bisa menjadi emas kalau disentuh dengan kreativitas.
Peyek bayam mengajarkan kita bahwa nilai tambah bukan soal seberapa besar lahan atau seberapa tinggi modal, melainkan seberapa kreatif kita mengolah apa yang ada.
Bagi KWT Arum Sari, gulma sudah berubah jadi camilan. Bagi kita, mungkin ini saatnya belajar melihat sekeliling dengan cara pandang baru. Karena siapa tahu, apa yang selama ini dianggap remeh ternyata menyimpan peluang besar.
_______________

Komentar
Posting Komentar