Gelombang Energi Lisan dan Amuk Massa

Gelombang Energi Lisan dan Amuk Massa

Oleh : Sutoyo

______________

Pepatah lama “mulutmu harimaumu” kembali menemukan relevansinya di tengah hiruk-pikuk demonstrasi besar-besaran yang mengguncang berbagai kota di Indonesia pada akhir Agustus 2025 ini. Lisan yang seharusnya menjadi medium komunikasi ternyata bisa berubah menjadi generator energi sosial yang membakar. Ucapan yang lepas tanpa kendali  bermetamorfosa menjadi getaran energi yang kemudian merambat ke massa. Gelombangnya meluas berubah jadi amuk yang sulit dikendalikan.

Dalam perspektif energi setiap ucapan merupakan getaran. Kata-kata yang penuh dengan kebaikan akan memancarkan energi positif dan pada akhirnya akan menenangkan, menyatukan dan menguatkan. Sebaliknya kata-kata yang sarat dengan provokatif ibarat arus listrik yang korslet sehingga menyulut percikan dan berujung pada kebakaran sosial.

Ketika ribuan orang berkumpul dalam suatu ruang publik maka energi lisan punya daya resonansi yang berlipat ganda. Seorang provokator cukup melempar satu kalimat kasar, lalu riak itu menyebar ke telinga massa. Getaran energi berubah menjadi desakan, lalu jadi dorongan fisik, dan akhirnya menjelma api anarkis.

Aksi protes yang awalnya menuntut pengurangan tunjangan DPR, kini menjelma menjadi gelombang demonstrasi anarkis di berbagai daerah. Di Solo, gedung Sekwan DPRD dibakar, puluhan remaja ditangkap. Di Bali 138 orang diamankan, dua warga sipil terluka. Gelombang ini tak berhenti di situ tetapi menjalar sampai ke Makassar, Cirebon, Pekalongan, Semarang, hingga Surabaya ikut terseret dalam pusaran energi yang sama.

Energi Lesan di Era Digital

Kalau dulu energi lisan hanya terdengar sebatas radius disekitar telinga, kini di era digital daya jangkaunya meluas tanpa batas hanya dalam hitungan detik. Satu kalimat di media sosial bisa dibaca jutaan orang dalam hitungan menit. Kata-kata kasar yang viral sama dahsyatnya dengan provokasi di lapangan. Media sosial menjadi “loudspeaker energi” yang memperbesar getaran lisan menjadi gelombang massa.

Disinilah kita melihat bahwa demonstrasi bukan hanya soal turun ke jalan, tapi juga soal bagaimana energi lisan dikonstruksi, disebarkan, dan diperbesar oleh teknologi.

Pelajaran dari Gelombang Energi

Ada beberapa pelajaran penting dari peristiwa ini:

  1. Kata adalah energi: Ucapan bisa membangun, bisa pula menghancurkan.
  2. Energi itu menular: Lisan seorang pemimpin opini bisa memicu jutaan orang untuk bergerak.
  3. Energi bisa dimanipulasi: Penumpang gelap akan selalu ada, menyulut energi negatif untuk kepentingan tertentu.
  4. Pengelolaan energi adalah tanggung jawab bersama: Baik rakyat, pemimpin, maupun media harus belajar menjaga kualitas lesan agar tidak berubah jadi bara.

Menjaga Energi, Menjaga Negeri

Demo anarkis akhir-akhir ini bukan sekadar cerita tentang gedung yang terbakar atau angka korban yang jatuh. Lebih dalam daripada itu, ini adalah cerita tentang energi lisan yang gagal dijaga. Kata-kata yang seharusnya menjadi alat negosiasi berubah menjadi senjata, getarannya merambat, lalu melahirkan kerusuhan.

Kalau mulutmu adalah harimau, maka tugas kita adalah menjinakkannya dengan kesadaran. Sebab energi yang lahir dari lisan bukan hanya milik kita, tapi juga akan menentukan arah energi negeri.....wallohualam bishowab.

______________

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Magnet Kerinduan di Watuduwur: Sebuah Pertemuan Tak Terduga dengan Pak Dhani Harun

Ibu Ketua TP PKK Jateng borong produk KWT se Kecamatan Bruno

Keresahan yang Mencair di Aula B dan C: Petani Tembakau Akhirnya Bisa Tersenyum