Closed Loop: Jalan Terang atau Sekadar Lampu Taman?

Closed Loop: Jalan Terang atau Sekadar Lampu Taman?

Membedah Keberhasilan dan Tantangan Pemberdayaan Petani dari Hulu ke Hilir

Oleh : Sutoyo

_________________

Dalam beberapa tahun terakhir istilah closed loop menjadi buah bibir di dunia pertanian Indonesia. Konsep ini sering digadang-gadang sebagai solusi menyeluruh yang menghubungkan antara petani dengan pasar secara langsung, memotong rantai tengkulak, dan memberikan pendampingan teknis dari hulu hingga hilir. Pemerintah, pelaku usaha, dan perbankan dilibatkan dalam satu ekosistem kemitraan yang terintegrasi.

Diatas kertas idenya memang indah: petani mendapat benih, pupuk, teknologi, pembiayaan, pendampingan, hingga jaminan pembelian hasil panen. Namun seberapa besar sebenarnya keberhasilan program ini di lapangan?

Berdasarkan laporan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, pilot project closed loop yang dilaksanakan di Kabupaten Garut pada sekitar 2022 menunjukkan hasil cukup menggembirakan. Dengan melibatkan 22 petani di lahan seluas 13 hektar, pendapatan petani meningkat rata-rata 10–15 % dalam satu tahun.

Tak hanya itu cakupan program kini diperluas hingga 16 kabupaten, dan 10 kabupaten lain sudah dalam proses persiapan. Dari perspektif kebijakan publik ekspansi ini adalah indikator positif bahwa konsep ini dapat diterima dan dianggap layak untuk dikembangkan.

Keberhasilan yang Layak Dicatat

  1. Kepastian Pasar dan Harga
    Petani tidak lagi khawatir hasil panennya tidak terserap, karena sudah ada offtaker yang siap membeli sesuai kontrak.

  2. Pendampingan Teknis
    Penerapan Good Agriculture Practices (GAP) membantu meningkatkan kualitas dan konsistensi produksi.

  3. Kolaborasi Multi Pihak
    Pemerintah, swasta, lembaga keuangan, hingga koperasi tani bergerak bersama dalam satu rantai kemitraan.

Meski keberhasilan ini patut diapresiasi, ada catatan kritis yang tak bisa diabaikan:

  • Fokus Masih Dominan di Hulu
    Banyak program closed loop yang berhenti pada penyediaan sarana produksi dan pendampingan budidaya. Hilir—yakni pengolahan pascapanen, branding, dan diversifikasi produk—sering belum optimal.

  • Skala yang Masih Terbatas
    Meski 16 kabupaten terdengar banyak, jika dibandingkan dengan total lebih dari 400 kabupaten/kota di Indonesia, cakupannya baru setetes di lautan.

  • Ketergantungan pada Mitra Besar
    Ada risiko jika offtaker menarik diri atau mengalami kendala, petani akan kehilangan akses pasar yang selama ini diandalkan.

Agar closed loop benar-benar menjadi motor penggerak kesejahteraan petani, maka pendekatannya haruslah benar-benar dari hulu ke hilir:

  • Integrasi dengan UMKM dan Industri Pengolahan: supaya nilai tambah tinggal di desa, bukan pindah ke kota.

  • Penguatan Kelembagaan Petani: koperasi atau kelompok tani harus punya posisi tawar yang setara, bukan sekadar menjadi mitra penerima.

  • Diversifikasi Pasar: jangan hanya bergantung pada satu offtaker, tapi buka jaringan ke ritel modern, ekspor, dan pemasaran digital.

Closed loop memang menjanjikan, terbukti dari peningkatan pendapatan dan jaminan pasar bagi petani di lokasi percontohan. Namun demikian seperti lampu taman yang indah di malam hari, ia belum tentu cukup untuk menerangi jalan panjang menuju kedaulatan pangan. Pekerjaan rumahnya adalah memastikan seluruh rantai nilai—dari bibit hingga branding—terintegrasi dengan kokoh. Saat itulah closed loop tak lagi hanya menjadi jargon, tetapi benar-benar menjadi lokomotif pemberdayaan petani Indonesia.

___________________

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Magnet Kerinduan di Watuduwur: Sebuah Pertemuan Tak Terduga dengan Pak Dhani Harun

Ibu Ketua TP PKK Jateng borong produk KWT se Kecamatan Bruno

Keresahan yang Mencair di Aula B dan C: Petani Tembakau Akhirnya Bisa Tersenyum