Brigade Pangan: Gotong Royong yang Di-Franchise-kan ?
Brigade Pangan: Gotong Royong yang Di-Franchise-kan ?
Dulu gotong royong lahir dari hati. Sekarang lahir dari SK dan SPJ.
Oleh : Sutoyo
___________________
Gotong royong adalah ruh kolektif bangsa ini sejak nenek moyang. Ia tumbuh dari akar, hidup dalam budaya, dan menyatu dalam nadi para petani. Namun seperti banyak hal lainnya yang dulunya gratis lalu perlahan-lahan mulai dikomersialkan, kini gotong royong pun sepertinya sedang menuju di-franchise-kan. Salah satu contoh paling mutakhir adalah Brigade Pangan.
Brigade pangan di atas kertas adalah semangat yang mulia sebab ia mengerahkan kekuatan komunitas petani untuk menjawab tantangan pangan nasional. Namun mari kita jujur: ketika semua harus seragam, bersurat tugas, berlogo, berbendera, dan terintegrasi dalam dashboard pelaporan pusat—masihkah layak disebut sebagai gotong royong rakyat, ataukah sudah franchise sosial ala korporasi?
Coba bayangkan para petani di desa harus berkumpul sesuai jadwal yang sudah ditentukan, mengenakan rompi brigade, membawa alat berat yang disediakan, mengikuti plot kerja, dan memastikan ada dokumentasi serta laporan. Mereka bukannya tidak mau bergotong royong—mereka justru ingin bekerja bersama seperti dulu. Permasalahannya kini gotong royong itu tidak bisa lagi dadakan, tidak boleh liar, apalagi spontan, harus sesuai dengan SOP.
Layaknya waralaba minuman boba yang semua resepnya dari pusat, brigade pangan juga bergerak dalam sistem yang dirancang dari atas. Ada panduan nasional, target produksi, alokasi input, dan sistem komando yang tertata rapi. Semuanya terlihat efisien dan modern, namun ada satu yang perlahan hilang: kendali komunitas lokal atas dirinya sendiri.
Brigade pangan jika tidak betul-betul dijaga arah dan niatnya, maka bukan tidak mungkin akan berubah menjadi alat agregator para petani agar lebih mudah dimobilisasi, bukan lebih berdaulat. Petani-petani kecil digabungkan dalam struktur yang besar, diberikan program unggulan nasional, lalu diarahkan ke model produksi massal berbasis input luar.
Petani diberi pupuk, benih, alat, bahkan pasar—semuanya dikemas dalam jargon “penguatan”. Tetapi tunggu dulu… benihnya dari siapa? Pupuknya dari mana? Pasarnya dikendalikan siapa? Kalau semua dari luar dan petani hanya jadi pelaksana, maka siapa sebenarnya yang sedang diperkuat?
Ini mirip dengan cerita klasik: kamu diajak masak bersama, tetapi semua bahan, resep, bahkan sendoknya disediakan orang lain. Kamu cuma disuruh ngaduk dan foto bareng.
Korporatisasi pertanian pernah digaungkan melalui skema “Korporasi Petani” dalam Permentan No. 40 Tahun 2020. Ide dasarnya adalah petani bersatu, membentuk badan hukum, dan menjalankan usaha bersama. Sayangnya dalam praktik, banyak “korporasi petani” hanya nama dan yang aktif justru hanya struktur pendukung dan mitra bisnis di belakangnya.
Brigade pangan bisa menjadi panggung lanjutan dari korporatisasi itu—tapi kali ini dikemas dengan sentimen kebangsaan dan gotong royong. Sebuah bungkus indah yang jika tak hati-hati, bisa menjadi jalan masuk kapital besar ke ladang-ladang kecil, dengan dalih pemberdayaan.
Petani-petani kecil yang dulu merdeka dengan cangkul dan kearifan lokal, kini sibuk mencocokkan diri dengan aplikasi tanam, penyesuaian GAP, dan deadline laporan. Mereka akan menjadi buruh canggih di lahan sendiri.
Apakah brigade pangan salah? Oh tidak sepenuhnya. Ia bisa menjadi kekuatan kolektif baru asal dikembalikan pada semangat lokal, bukan sekadar perpanjangan tangan sistem pusat. Petani bukan pion produksi, tapi subjek utama. Mereka harus memegang kendali bukan hanya atas cangkul, tetapi atas keputusan apa yang mereka tanam, kapan, bagaimana, dan untuk siapa.
Alih-alih menjadikan brigade pangan sebagai “operator produksi”, mengapa tidak menjadikannya sebagai komunitas belajar petani yang independen? Mereka bisa saling tukar benih, metode tanam, dan model distribusi lokal—tanpa harus menunggu aba-aba dari pusat. Gotong royong seperti ini tidak butuh SPJ, tapi tetap punya kekuatan.
“Jangan-jangan gotong royong yang kita puja hari ini, hanyalah brand yang sudah dibeli pihak luar—lalu dijual kembali pada kita dalam bentuk seragam dan laporan.”
Gotong royong tidak butuh logo, tetapi rasa percaya. Ia tidak bisa difranchise-kan karena lahir dari jiwa, bukan dari sistem. Brigade pangan harusnya jadi kendaraan kedaulatan pangan rakyat, bukan kendaraan masuknya pasar modal atau mitra asing berkedok CSR.
Mari jaga agar brigade pangan tidak jadi korporasi yang malu-malu, atau lebih buruk: korporasi yang tidak tahu diri.
Wallohu
alam bishowab
___________________
Komentar
Posting Komentar