Abuwaras dan Karnaval Agustusan: Pesta Sehari, Realita Setahun

 


Abuwaras dan Karnaval Agustusan: Pesta Sehari, Realita Setahun

Setiap memasuki bulan Agustus jalan-jalan kampung berubah menjadi panggung. Anak-anak berparade dengan kostum dari kardus mi instan, ember bekas dicat jadi helm perang, dan motor tua diwarna-warni lalu dideklarasikan sebagai tank tempur. Kamera ponsel tak henti-hentinya merekam, sorak sorai pun menggema, semua merasa menjadi pahlawan sehari. Inilah karnaval Agustusan: sebuah pesta rakyat yang meriah, semarak, dan penuh tawa.

Abuwaras si filsuf kampung yang selalu punya cara unik melihat dunia duduk di pinggir jalan sambil ngopi. Ia tersenyum melihat semangat warga tapi kemudian melontarkan komentar satirnya yang bikin orang terdiam lalu tertawa getir.

“Karnaval itu ibarat pesta perhelatan sebelum puasa. Habis pesta ya kembali lagi lapar. Habis karnaval ya kembali lapar pupuk, lapar sembako murah, lapar janji pemimpin.”

Spontan Warga yang mendengarnya jadi terdiam, lalu ngakak bareng. Ada yang nyeletuk, “Wah bener juga ya Bu. Setelah karnaval bubar yang tertinggal cuma sampah kardus sama jalanan yang berdebu.”

Pesta Sehari, Realita Setahun

Karnaval Agustusan memang sebuah simbol kebersamaan. Warga ditarik iuran, pemuda kreatif bikin dekorasi, ibu-ibu nyiapin konsumsi, dan anak-anak latihan baris-berbaris. Tapi setelah satu hari penuh gegap gempita semuanya akan kembali ke rutinitas: kerja di sawah, ngurus dapur, mikirin cicilan, atau bingung mencari pupuk subsidi.

Belum lagi setelah karnaval muncul after party versi kampung: lomba makan kerupuk dengan kerupuk yang makin tipis ukurannya, lomba balap karung di lapangan yang penuh batu, panjat pinang dengan hadiah panci yang entah sudah bocor atau belum, dan tarik tambang yang biasanya lebih cepat putus talinya daripada kalahnya peserta. Semua tawa pecah tapi Abuwaras hanya manggut-manggut lalu ia nyeletuk lagi:

“Hadiah panjat pinang kadang cuma panci bocor dan sabun mandi. Tapi hadiah kemerdekaan yang seharusnya lebih besar: hidup tanpa takut harga-harga naik, sekolah tanpa harus ngutang, dan sawah tanpa jerat pupuk langka. Sayangnya yang sampai ke rakyat seringnya cuma pancinya—dan itu pun bocor.”

Warga yang mendengarnya lagi-lagi tertawa tapi dengan wajah kecut. Satir Abuwaras memang menusuk dibalik guyonannya, dan lagi-lagi menambahkan satir penutupnya:

“Merdeka itu bukan sekadar arak-arakan Agustusan. Merdeka itu kalau setelah karnaval, rakyat masih bisa makan enak tanpa harus ikut lomba makan kerupuk.”

Lalu ia meneguk kopinya pelan seperti sedang menutup pidato kenegaraan.

Karnaval Sebagai Cermin

Kalau ditilik dari sejarahnya karnaval itu memang pesta sebelum masa pantang. Dulunya di benua Eropa sana  berpesta pora dilakukan sebelum memasuki Prapaskah: habis hura-hura, lalu menahan diri. Kedengarannya memang aneh karena dibudaya kita pesta biasanya dilakukan setelah perjuangan misalnya pesta panen, selamatan rumah baru, syukuran kemenangan dan lain sebagainya. Tapi justru disitulah letak satirnya yakni pesta dulu baru bersusah-susah kemudian.

Fenomena Agustusan pun kurang lebih serupa. Setelah karnaval kita akan kembali kepada dunia realistis sebut saja harga kebutuhan pokok naik, lapangan kerja terbatas, dan birokrasi tetap berbelit. Karnaval menjadi oase sehari ditengah gurun panjang masalah rakyat.

Selain itu karnaval juga menjadi arena bagi kreatifitas warga. Anak-anak berlomba membuat kostum dari bahan-bahan sederhana, remaja menata dekorasi, dan orang dewasa mengatur arak-arakan. Semuanya terlibat dan secara tidak langsung kegiatan ini mengajarkan kerja sama, disiplin, dan strategi sederhana. Dibalik tawa dan tepuk tangan, ada nilai sosial yang terselip yaitu gotong royong, saling menghargai, dan menumbuhkan rasa kepemilikan terhadap tradisi lokal.

Tidak jarang juga karnaval Agustusan menjadi ajang pendidikan informal. Anak-anak belajar tentang sejarah kemerdekaan melalui tema kostum dan dekorasi, sementara orang tua menyisipkan pesan moral tentang disiplin, tanggung jawab, dan solidaritas. Bahkan beberapa warga yang sudah senior memanfaatkan momentum ini untuk berbagi cerita tentang perjuangan generasi sebelumnya, menghubungkan masa lalu dengan masa kini, agar perayaan tidak sekadar hura-hura tanpa makna.

Abuwaras Menutup Percakapan

Sore hari setelah karnaval bubar Abuwaras berjalan melewati sisa-sisa pesta. Tampak kardus kostum yang basah kena hujan, bendera plastik kusut di selokan, dan motor tua yang kembali jadi alat transportasi seadanya. Lantas ia pun bergumam lirih:

“Merdeka itu bukan cuma hak berparade tapi juga hak punya hidup yang layak. Kalau karnaval hanya jadi hiburan setahun sekali, sementara setahun penuh rakyat tetap terikat, itu bukan merdeka… itu cuma pesta perpisahan dengan harapan palsu.”

Seperti biasa warga yang mendengarnya hanya bisa tersenyum getir sambil berharap tahun depan ada karnaval lagi, setidaknya untuk melupakan realita sehari-hari. Namun Abuwaras percaya jika makna karnaval disadari lebih dalam sebenarnya pesta ini bisa menjadi cermin bagi masyarakat yaitu sebagai tempat belajar, tempat mengekspresikan kreativitas, sekaligus pengingat bahwa kebebasan dan kemerdekaan bukan hanya simbol setahun sekali tapi harus tercermin dalam hidup keseharian.

Catatan Abuwaras:

“Pesta itu indah tapi jangan sampai merdeka hanya terasa sehari di bulan Agustus. Merdeka seharusnya jadi kenyataan bukan sekadar dekorasi kardus.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Magnet Kerinduan di Watuduwur: Sebuah Pertemuan Tak Terduga dengan Pak Dhani Harun

Ibu Ketua TP PKK Jateng borong produk KWT se Kecamatan Bruno

Keresahan yang Mencair di Aula B dan C: Petani Tembakau Akhirnya Bisa Tersenyum