"Abuwaras dan Hujan Salah Mangsa: Ketika Kemarau Dipaksa Menyedu Kopi Panas"

"Abuwaras dan Hujan Salah Mangsa: Ketika Kemarau Dipaksa Menyedu Kopi Panas"

_____________

Lima hari terakhir ini berturut-turut turun hujan nyaris tidak ada jeda pas musim kemarau. Jalanan becek, daun tembakau basah kuyup, dan sawah yang harusnya retak-retak malah kembali penuh genangan. “Iki dudu musim, iki kaya wong kelangan arah,” celetuk Abuwaras sambil menyalakan rokok klobotnya.

Dalam kalender petani Jawa mangsa itu pegangan hidup. Ada mangsa ketiga yang tandanya kemarau panjang, ada mangsa kapat yang waktunya mulai hujan turun. Tetapi kali ini agak lain, semua campur aduk, kemarau masih berjalan, tapi hujan turun bertubi-tubi. Kata orang tua, ini disebut “udane rujak”—hujan yang datang diluar jadwal bikin bingung siapa pun yang menggantungkan hidup pada alam.

Abuwaras malah tertawa kecil:

  • “Petani tembakau saiki bingung, daun sing kudu diangin-angin malah kecemplung banyu.”
  • “Sing nandur jagung girang, tapi sing nandur lombok njewer kuping dhewe.”
  • “Air sumur syukuran, tapi jemuran kain jadi korban.”

Semuanya serba dua sisi yang bertolak belakang. Hujan bisa jadi berkah bisa juga jadi musibah. Seperti kata Abuwaras, “alam iku ora iso dipesen kaya kopi. Kadang manis, kadang pait, tergantung nasib sing nyeduh.”

Fenomena ini bukan sekadar hujan nyasar. Iklim global sedang bergeser. El Niño, La Niña, dan kawan-kawannya di samudra sana ikut mengatur angin, mendatangkan awan, lalu menumpahkan hujan di tanah Jawa. Dulu orang cukup melihat letak bintang, daun jati gugur, atau suara prenjak untuk menandai musim. Sekarang? Kalender tanam bisa saja dipermainkan oleh iklim yang makin sulit ditebak.

Abuwaras lalu menutup obrolannya:

  • “Sing penting petani kudu pinter ngganti strategi. Tembakau bisa telat panen, jagung bisa dicepetno, padi tadah hujan iso urip maneh. Wong sing kalah dudu sing kurang ilmu, tapi sing keras kepala ora gelem adaptasi.”

Kalau dulu pepatah Jawa bilang: “Alam iku guru sejatine,” maka hari ini kita diingatkan kembali. Hujan salah mangsa adalah pelajaran, bahwa kita tidak bisa hanya berpegang pada jadwal kemarau–hujan yang kaku. Kini dunia sudah berubah, dan petani harus ikut luwes.

Abuwaras menutup obrolannga dengan menyeruput kopi panas yang sudah agak dingin karena terciprat air hujan. Katanya:
“Kemarau dipaksa minum kopi panas, ya jadine hujan. Sing penting awake dhewe ojo gampang nesu. Saben tetes banyu isih ono berkah, mung kudu pinter maca lan nerimo.”

______________




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Magnet Kerinduan di Watuduwur: Sebuah Pertemuan Tak Terduga dengan Pak Dhani Harun

Ibu Ketua TP PKK Jateng borong produk KWT se Kecamatan Bruno

Keresahan yang Mencair di Aula B dan C: Petani Tembakau Akhirnya Bisa Tersenyum