Siapa yang Punya Kebenaran? Ketika Algoritma Menggantikan Akal Sehat

 


Siapa yang Punya Kebenaran? Ketika Algoritma Menggantikan Akal Sehat

Oleh : Sutoyo

___________________

Tulisan Maichel Firmansyah seorang Alumnus Universitas Negeri Padang Departemen Sosiologi yang bertajuk "Era Taklid Digital: Otoritas Kebenaran Semu" yang selengkapnya dapat dilihat di https://news.detik.com/kolom/d-8029333/era-taklid-digital-otoritas-kebenaran-semu cukup menarik untuk diulas kembali.

Sepakat dengan Maichel Firmansyah bahwa diera digital ini kebenaran sering kali tidak lagi ditentukan oleh argumen yang kuat atau fakta yang valid, melainkan oleh siapa yang paling viral, siapa yang paling sering muncul di layar gawai kita. Ketika algoritma media sosial menjadi penentu apa yang layak kita lihat, pertanyaan kritis pun muncul: siapa sebenarnya yang punya otoritas atas kebenaran?

Fenomena ini lantas diangkat oleh Maichel Firmansyah sebagai "taklid digital",  yaitu kecenderungan menerima informasi tanpa berpikir panjang hanya karena informasi tersebut disampaikan oleh figur populer atau dibagikan berkali-kali di medsos. Ini bukan sekadar masalah informasi palsu (hoaks), tetapi gejala lebih dalam yaitu krisis nalar kritis ditengah banjir informasi.

Algoritma: Raja Baru Penentu Kebenaran

Dulu otoritas kebenaran bersumber pada guru, ilmuwan, atau media resmi yang diharapkan punya standar etik dan verifikasi. Kini posisi itu digantikan oleh algoritma: yaitu sistem otomatis yang menampilkan konten berdasarkan popularitas, interaksi, dan prediksi ketertarikan dari pengguna.

Menurut studi Pew Research Center (2021), 53% orang Amerika mendapatkan berita dari media sosial. Di Indonesia, laporan We Are Social (2024) menunjukkan 72% pengguna internet mengakses berita lewat media sosial. Artinya, kebenaran digital ditentukan oleh apa yang disodorkan oleh algoritma bukan hasil dari pencarian aktif.

Tentu saja ini sangat berbahaya, karena algoritma bekerja untuk memanjakan preferensi, bukan memicu perenungan. Konten yang menantang pikiran sering kalah oleh konten yang menyenangkan atau memancing emosi.

Literasi yang Rapuh: Akarnya di Kemiskinan Berpikir

Fenomena sepertu ini makin diperparah oleh kemiskinan literasi kritis. Banyak orang belum mampu membedakan antara opini dengan fakta, antara data dengan dugaan. Menurut data UNESCO (2023), Indonesia masih berada di posisi bawah dalam indeks literasi global. Bahkan Program for International Student Assessment (PISA) 2022, menempatkan literasi membaca siswa Indonesia diurutan ke-69 dari 81 negara.

Tidak heran jika orang lebih percaya pada video 30 detik seorang influencer ketimbang sebuah ulasan ilmiah. Inilah yang disebut dengan otoritas semu. Jadi kebenaran tidak lagi diuji, tetapi ditiru dan dibagikan.

Risiko Sosial: Polarisasi dan Manipulasi

Ketika akal sehat digantikan oleh algoritma, masyarakat akan menghadapi risiko yang besar :

  • Polarisasi opini karena algoritma memperkuat bias pribadi (filter bubble).

  • Manipulasi massal oleh oknum yang paham cara memanfaatkan sistem ini untuk kepentingan politik atau komersial.

  • Erosi kepercayaan publik terhadap institusi ilmu dan pendidikan.

Kasus hoaks nasional seperti isu vaksinasi, penipuan investasi, hingga ujaran kebencian politik menunjukkan betapa mudahnya publik digiring oleh informasi yang tampak "benar" hanya karena sering dibagikan.

Perlawanan: Bangun Literasi, Lawan Taklid Digital

Kita tidak mungkin bisa berharap algoritma akan membenahi dirinya sendiri. Solusinya adalah ada pada manusia yang sadar dan kritis. Literasi digital dan literasi media harus diajarkan sejak dini, tidak hanya soal teknis, tetapi nalar dan etika informasi.

Beberapa inisiatif seperti program literasi digital Kementerian Kominfo, serta gerakan periksa fakta oleh Mafindo dan CekFakta.com patut didukung. Namun gerakan ini harus lebih membumi, menyentuh sekolah, pesantren, komunitas, dan ruang-ruang informal lainnya.

Kebenaran Itu Perjuangan

Kebenaran diera digital bukan hanya soal isi, tapi juga soal proses menemukan dan mempertahankannya. Akal sehat harus melawan kenyamanan algoritma. Seperti kata filsuf Bertrand Russell, "Most people would rather die than think. And many do."

Oleh karena itu mari bertanya kembali: siapa yang punya kebenaran? Jika kita menyerahkan sepenuhnya pada algoritma, maka bukan lagi nalar yang memimpin, tapi klik dan viralitas. Kebenaran tidak bisa dibiarkan menjadi korban dari budaya scroll dan share....wallohualam bishowab.

___________________

Komentar

  1. Algoritma akan merubah dan mengubah berdasarkan dari nilai algoritma. Jadi jangan jadikan Algoritma acuan untuk dijadikan sumber kebenaran. Kita tetap wajib mengikuti pedoman yang kita miliki. Algoritma hanya dijadikan penilaian sementara saja , bukan dijadikan penilaian mutlak sebagai acuan pedoman kebenaran.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Magnet Kerinduan di Watuduwur: Sebuah Pertemuan Tak Terduga dengan Pak Dhani Harun

Ibu Ketua TP PKK Jateng borong produk KWT se Kecamatan Bruno

Keresahan yang Mencair di Aula B dan C: Petani Tembakau Akhirnya Bisa Tersenyum