SALAM: Sekolah yang Menanam Kedaulatan, Tapi Malah Mau Dijadikan Wisata

                                                                        Foto Mojok.co

SALAM: Sekolah yang Menanam Kedaulatan, Tapi Malah Mau Dijadikan Wisata

Oleh: Abuwaras


Salah Paham Terhadap Pendidikan Alternatif

Sekolah SALAM (Sanggar Anak Alam) di Bantul, Yogyakarta, telah menjadi perbincangan publik. Bukan karena prestasi olimpiade atau ranking nasional, melainkan karena cara belajarnya yang "tak biasa". Bagaimana tidak ? Anak-anak menanam padi, beternak kambing, membuat film dokumenter, dan berdiskusi di bawah pohon. Tak ada seragam, tak ada ujian nasional, dan tentu saja, tak ada raport angka. Anehnya, keberanian SALAM untuk keluar dari pakem pendidikan nasional malah membuat sekolah ini sering disalahpahami: bukan sebagai pusat inovasi, tapi justru sebagai "tempat wisata edukasi."

Fenomena ini membuka mata kita: publik dan bahkan sebagian pemerintah belum sepenuhnya memahami esensi pendidikan alternatif. Ketika ada sekolah yang memilih merdeka justru dianggap eksentrik bahkan dianggap perlu "dijinakkan" lewat program wisata, bukan didukung sebagai ruang belajar sejati. Padahal SALAM adalah bentuk nyata dari kegelisahan terhadap pendidikan nasional yang makin kering makna: terjebak pada logika angka, sertifikat, dan rangking.

Pendidikan Nasional: Menjadi Mesin, Bukan Menjadi Manusia

Kurikulum nasional menuntut standar baku, seragam, dan terukur. Semua siswa belajar materi yang sama, dengan metode yang serupa, untuk diuji secara massal. Tujuannya? Lulus ujian, masuk perguruan tinggi, lalu bekerja. Pendidikan seolah menjadi jalur pabrikasi manusia: mencetak "tenaga kerja" dan "penghafal teori," bukan pemikir kritis atau warga berdaya.

SALAM hadir melawan arus. Disini anak-anak diajak berpikir, bertanya, mencoba, gagal, lalu mencoba lagi dan mencoba lagi sampai bisa. Mereka belajar bukan untuk ujian, tetapi untuk hidup. Mereka membaca alam, menanam pangan sendiri, dan memahami bahwa belajar itu soal proses, bukan produk.

SALAM dan Kedaulatan Pangan: Belajar dari Tanah, Bukan dari Modul

Salah satu hal yang membedakan SALAM dari sekolah konvensional adalah pendekatan mereka terhadap pangan. Anak-anak tidak hanya belajar tentang pertanian, tetapi benar-benar menanam, merawat, dan memanen. Mereka tidak hanya belajar ekosistem dari buku, tapi dari sawah, kebun, dan kandang.

Inilah inti dari kedaulatan pangan: mampu memenuhi kebutuhan pangan sendiri, dengan cara yang berkelanjutan dan memanusiakan. Ditengah krisis pangan global dan dominasi produk instan, SALAM mengajarkan keberdayaan sejak dini. Pendidikan disini bukan hanya soal intelektual, tapi juga spiritual dan ekologis.

Ironisnya ketika sekolah seperti SALAM menumbuhkan kedaulatan pangan, ia justru digiring menjadi objek wisata. Bukan karena dianggap penting tetapi karena dianggap "unik". Proses belajar anak-anak menjadi tontonan. Kambing-kambing dan kebun dijadikan latar foto. Sementara nilai-nilai kedaulatan dan keberdayaan diabaikan.

Komodifikasi Pendidikan: Ketika Sekolah Dijadikan Tontonan

Fenomena pengubahan sekolah menjadi "wisata edukasi" adalah bagian dari komodifikasi pendidikan. Sekolah alternatif yang seharusnya menjadi laboratorium hidup justru dikemas sebagai atraksi. Pemerintah daerah dan swasta melihat peluang ekonomi, bukan peluang transformasi sosial.

SALAM mengalami hal ini. Ketika mereka menolak menjadi bagian dari sistem yang mengalienasi manusia dari alam, justru datang label: "tempat outbond." Sekolah ini menjadi target program wisata, bukan studi banding pedagogis. Padahal mestinya SALAM-lah yang menjadi inspirasi dan rujukan.

Refleksi: Menuju Pendidikan Merdeka dan Beradab

SALAM sesungguhnya menghidupkan kembali gagasan Ki Hadjar Dewantara: bahwa pendidikan harus memerdekakan, memanusiakan, dan berakar pada budaya. Di SALAM ini nyata. Anak-anak tidak hanya "diajar," tapi "belajar." Tidak hanya disuruh, tapi dilibatkan. Mereka mengalami pendidikan sebagai proses hidup.

Pertanyaannya: apakah kita siap mengakui bahwa pendidikan tak harus seragam? Bahwa keberagaman pendekatan seperti di SALAM justru membuka jalan menuju kedaulatan belajar? Bahwa pendidikan sejati adalah ketika anak-anak tidak hanya lulus ujian, tetapi lulus sebagai manusia yang sadar akan dirinya dan lingkungannya?

Dari SALAM untuk Indonesia

SALAM telah menanam benih kedaulatan—baik dalam belajar maupun pangan. Tetapi benih ini butuh ruang subur: pengakuan, perlindungan, dan penyemangat. Jika sekolah seperti SALAM terus dianggap eksentrik, atau malah dikomersialisasi, maka kita sedang kehilangan arah pendidikan.

Pendidikan bukan tempat wisata. Belajar bukan tontonan. Sekolah seperti SALAM adalah napas masa depan: sederhana, membumi, tapi berdaulat.

Referensi:

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Magnet Kerinduan di Watuduwur: Sebuah Pertemuan Tak Terduga dengan Pak Dhani Harun

Ibu Ketua TP PKK Jateng borong produk KWT se Kecamatan Bruno

Keresahan yang Mencair di Aula B dan C: Petani Tembakau Akhirnya Bisa Tersenyum