Luas Tambah Tanam (LTT): Solusi Cepat atau Jerat Jangka Panjang?
Luas Tambah Tanam (LTT): Solusi Cepat atau Jerat Jangka Panjang?
Oleh: Sutoyo | storylabsutoyo@gmail.com
Prolog : LTT dan Ambisi Swasembada Pangan
Sejak awal 2020-an, istilah Luas Tambah Tanam (LTT) menjadi jargon utama Kementerian Pertanian dalam upaya untuk menggenjot produksi pangan nasional. Ditengah ancaman krisis pangan global dan perubahan iklim LTT disebut-sebut sebagai kunci menuju swasembada dan ketahanan pangan. Tanpa membuka lahan baru kita bisa panen lebih banyak—begitu semangatnya.
Namun dibalik semangat swasembada itu muncul pertanyaan mendasar: Apakah LTT adalah solusi cerdas atau justru jebakan yang mengulang kesalahan Revolusi Hijau Orde Baru?
Sekilas Tentang LTT: Tanam Lebih Banyak, Panen Lebih Cepat
LTT adalah upaya peningkatan luas tanam secara nasional utamanya melalui:
-
Penanaman lebih dari 1–2 kali setahun (intensifikasi waktu)
-
Pemanfaatan lahan-lahan tadah hujan, rawa, atau sawah yang selama ini ditelantarkan
-
Penggunaan bantuan pompanisasi, alat dan mesin-mesin pertanian (alsintan), serta subsidi benih dan pupuk.
Tujuannya jelas: meningkatkan produksi pangan nasional tanpa perlu ekstensifikasi alias tanpa membuka hutan atau lahan baru.
Deja Vu?(dibaca: de-ja vu, berasal dari bahasa Prancis) berarti "pernah melihat" atau "sudah pernah terjadi" Revolusi Hijau Orde Baru dan LTT Sekarang
Strategi LTT sekilas mengingatkan kita pada masa Revolusi Hijau era Orde Baru. Kala itu, program Bimas dan Inmas memaksa petani menanam varietas unggul (padi IR), didorong pupuk dan pestisida, demi mengejar swasembada beras 1984.
Perbedaannya? LTT kini lebih fleksibel dan tidak menggunakan kekuatan militer. Namun semangatnya tetap sama: kuantitas produksi diutamakan, meskipun risiko jangka panjangnya sering diabaikan.
⚠️ Risiko Jangka Panjang LTT: Di Mana Bahayanya?
1. Degradasi Tanah Tak Terelakkan
Tanah yang ditanami berulang-ulang tanpa jeda istirahat akan mengalami kelelahan. Mikroorganisme tanah mati, struktur tanah rusak, dan unsur hara menipis. FAO (2017) mencatat bahwa intensifikasi tanpa pengelolaan ekosistem akan menurunkan produktivitas tanah dalam jangka panjang.
2. Air Semakin Langka, Pompa Tak Menyelesaikan
LTT bergantung pada pompanisasi. Namun, over-pumping dapat menurunkan muka air tanah dan menciptakan ketegangan sosial antar-petani. World Bank (2020), memperingatkan bahwa pertanian seperti ini bisa memicu krisis air lokal jika tidak dikelola dengan bijak.
3. Boom Hama dan Lonjakan Pestisida
LTT mempercepat siklus hama, seperti wereng dan hawar daun. Solusinya? Pestisida. Akibatnya, petani terjebak dalam lingkaran ketergantungan kimia, biaya produksi naik, dan lingkungan tercemar (BPTPH Kementan, 2023).
4. Petani Untung atau Buntung?
Produksi naik, tapi saat panen raya, harga gabah jatuh. Petani panen, tapi dompet kosong. Suara Tani (2023) mencatat anjloknya harga gabah di musim LTT, dari Rp5.500/kg ke Rp4.000/kg. Ironis, petani kerja keras, tapi pasar tak berpihak.
5. Ketergantungan pada Negara
LTT sering didorong lewat subsidi benih, pupuk, dan alsintan. Pertanyaannya: jika subsidi berhenti, apakah LTT tetap berjalan? IFPRI (2020), menyebut model seperti ini rawan kolaps, karena petani tidak disiapkan untuk mandiri.
Petani Bukan Mesin Produksi
Petani sejatinya bukan mesin produksi negara. Mereka adalah subjek pembangunan bukan sekadar objek program. Jika petani dikejar target tanam tanpa ruang berpikir, maka LTT berubah menjadi “jerat” jangka panjang, bukan solusi.
Solusi: LTT Harus Berwawasan Ekologi dan Kesejahteraan
Apa yang bisa dilakukan agar LTT tidak menjadi bumerang?
✅ Rotasi Tanaman dan Diversifikasi
Jangan hanya padi. Selang-seling tanam jagung, kedelai, atau sayuran bisa mengistirahatkan tanah dan mengurangi hama.
✅ Jaminan Harga dan Skema Asuransi
Produksi naik harus disertai jaminan harga panen. Negara wajib menjaga agar petani tidak rugi.
✅ Pelatihan Petani Mandiri
Petani harus paham risiko LTT, bukan sekadar ikut program. Pendidikan pertanian berkelanjutan adalah kunci.
✅ Pertanian Ramah Iklim
Integrasi LTT dengan teknologi hemat air, pupuk organik, dan pengendalian hama alami sangat penting agar LTT berkelanjutan.
Epilog: Jangan Ulang Kesalahan Lama
LTT bukan musuh, tetapi alat/cara untuk mencapai tujuan. Jika digunakan dengan bijak maka ia bisa menyokong swasembada pangan. Tetapi jika digenjot tanpa arah ia bisa menjadi bom waktu seperti Revolusi Hijau yang dulu menuai pujian tetapi meninggalkan luka pada petani dan alam.
Saatnya kita berpikit tidak hanya mengejar swasembada produksi, tapi juga swasembada kesejahteraan dan keberlanjutan.
Referensi:
-
FAO. (2017). The Future of Food and Agriculture – Trends and Challenges.
-
World Bank. (2020). Water in Agriculture: Irrigation for Resilience.
-
BPTPH Kementan. (2023). Dampak Intensifikasi Tanam terhadap Populasi OPT.
-
IFPRI. (2020). Sustainable Agriculture and the Limits of Subsidy-Driven Intensification.
-
Suara Tani. (2023). Harga Gabah Anjlok di Tengah Program LTT.

Komentar
Posting Komentar